Selasa, 31 Juli 2012

Bapa, Pegang Tanganku……


Sering kita berdoa: “Bapa, pegang tanganku dan jangan lepaskan, ku tak dapat jalan sendiri”
Tapi tahukah Anda bahwa pegangan tangan Bapa, adalah sebuah genggaman yang penuh kasih dan bukan sesuatu yang menyakitkan, supaya kita dapat berjalan beriringan bersama Dia, dan bukannya malah menyeret kita sepanjang jalan.
Namun, sebagaimana sebuah genggaman tangan penuh kasih, tangan lainnya dapat dengan mudah melepaskan diri, dan ini seringkali kita lakukan manakala pesona dunia atau sebuah kekhawatiran bahkan ketakutan membuat kita merasa bahwa genggaman tangan ini membatasi gerak langkah kehidupan atau kita merasa genggaman tangan ini terlalu lemah sehingga tidak dapat diandalkan, dengan mudahnya kita melepaskan diri lalu berpegangan dengan genggaman lain yang kita anggap lebih bebas atau lebih mampu melindungi kita.

Atau sebagian kita berdoa: “Bapa, lindungi aku dalam naungan-Mu”
Bapa berkata bahwa Dia melindungi kita seperti melindungi biji mata-Nya sendiri. Memang, Bapa membangun sebuah perlindungan yang kokoh, yang musuh tidak dapat menerobosnya dari luar. Namun, ini bukanlah sebuah penjara, sehingga kita dapat keluar kapanpun kita suka. Dan perlindungan yang Bapa bangun tidaklah sound proof. Sehingga, musuh masih dapat mengirimkan suara-suara dari mulai rayuan yang menggoda sampai yang mengintimidasi, sehingga membuat kita berpikir bahwa naungan-Nya adalah sebuah penjara yang menghimpit dan membelenggu, bahkan sangat lemah sehingga kita mulai meragukan kebaikkan, karakter bahkan kuasa Bapa. Kita merasa dunia di luar lebih memuaskan. Maka perlahan namun pasti kita berjalan meninggalkan tempat naungan kita.

Seseorang mungkin beragumentasi: “Lalu, jika demikian. Bukankah Seharusnya Bapa memegang tangan kita lebih erat atau dia menempatkan penjaga yang melarang kita keluar!”
Satu hal yang kita perlu tahu tentang Bapa adalah bahwa Dia bukanlah seorang tirani pemaksa. Bapa adalah seorang pecinta sejati, yang telah membuktikannya dengan menyerahkan nyawa-Nya sendiri bagi manusia yang Dia cintai. Bapa menuntut cinta dan ketaatan dari kita.
Cinta sejati dan ketaatan bukanlah cinta sejati dan ketaatan tanpa disertai oleh pilihan untuk tidak mencintai dan untuk memberontak. Sebuah robot dapat diprogram untuk mengasihi dan mentaati programmernya. Namun, robot tidak dapat melakukan hal lain selain sebuah program yang diupload ke dalam dirinya.

Kita tidak bisa mencap seorang anak sebagai anak yang taat, hanya karena dia lebih memilih belajar sementara ia berada diantara begitu banyak mainan dan konsol permainan, dan di sudut ruangan ada ayahnya yang begitu galak sedang memegang rotan.
Namun, jika si anak memilih belajar, sementara orang tuanya bepergian dengan hanya meninggalkan pesan: “Nak, jangan main ya, belajar.” Dan diantara pilihan main dan belajar sang anak memilih untuk belajar. Baru dapat dikatakan sang anak adalah seorang anak yang patuh dan taat kepada orang tuanya.

Sang Putera, Yesus Kristus telah membuktikan kasih dan ketaatan kepada Bapa-Nya dengan memilih taat kepada kehendak Bapa daripada kehendak-Nya sendiri. Padahal Dia memiliki kesempatan untuk menolak cawan penderitaan yang ditawarkan kepada-Nya. Namun, cinta dan ketaatan-Nya kepada Bapa sangat sempurna sehingga Dia memilih untuk taat. Ketaatan yang demikianlah yang Dia tuntut dari kita. Dapatkah kita tetap mentaati-Nya? Tetap menggemgam tangan-Nya? Tetap tinggal dalam naungan-Nya? Meskipun dunia tampak lebih menjanjikan. Pilihan kita akan menentukan kualitas cinta dan ketaatan kita kepada-Nya.

Sebagian lain mungkin akan berkata: “kami sudah berusaha taat dan tetap tinggal dalam naungan Bapa, namun mengapa penderitaan dan kesusahan masih menghampiri kami? Tidakkah genggaman dan perlindungan-Nya cukup untuk melindungi kami dari semua itu?!”

Bapa adalah ayah yang baik. Sebagaimana ayah yang baik lainnya, Bapa tidak akan membiarkan kita menjadi anak manja yang kekanan-kanankan dan tidak kapabel. Anak manja tidak akan mewarisi kerajaan-Nya, hanya seorang putera yang dewasalah yang akan mewarisinya. Bapa tahu untuk dapat menjadi seorang dewasa maka Bapa mengizinkan kesusahan dan pergumulan menghampiri hidup kita. Dia mengerti betul prinsip “No Crown Without Cross”. Bahwa sebuah medali diperoleh melalui sebuah perjuangan. 

Seorang pahlawan diciptakan di medan perang. Karakter seseorang dibentuk melalui pilihan-pilihan yang dia buat, terutama yang dia buat didalam tekanan. Lihatlah para pahlawan-Nya yang kisah hidupnya tertulis di buku sejarah-Nya yang bernama alkitab. Adakah mereka semua orang-orang lemah dan manja? Tidak! Mereka semua adalah para pria dan wanita gagah perkasa yang dibentuk melalui kesukaran hidup. Yusuf harus mengalami fase menjadi budak dan penjara sebelum dia menjadi raja muda di Mesir. Musa harus mengalami tanah Midian sebelum berhasil memimpin dua juta orang Israel keluar dari tanah Mesir, Daud dikejar-kejar Saul sebelum dia dapat menggenggam takhta Israel di tangannya. Dan masih banyak contoh lainnya.

Tengoklah doa yang berupa puisi yang ditulis oleh Jendral Douglas MacArthur, panglima perang Amerika Serikat pada Perang Dunia ke-2 di Asia pacific, bagi anaknya yang kala itu baru berusia 14 tahun:

“Doa untuk Putraku”.
Tuhanku, jadikanlah anakku
seorang yang cukup kuat mengetahui kelemahan dirinya
berani menghadapi kala ia takut
yang bangun dan tidak runduk dalam kekalahan yang tulus
serta rendah hati dan penyantun dalam kemenangan

Oh Tuhan, jadikanlah anakku
seorang yang tahu akan adanya Engkau
dan mengenal dirinya, sebagai dasar segala pengetahuan

Ya Tuhan, bimbinglah ia
bukan di jalan yang gampang dan mudah
tetapi di jalan penuh desakan, tantangan dan kesukaran
Ajarilah ia: agar ia sanggup berdiri tegak di tengah badai
dan belajar mengasihi mereka yang tidak berhasil

Ya Tuhan jadikanlah anakku
seorang yang berhati suci, bercita-cita luhur
sanggup memerintah dirinya sebelum memimpin orang lain
mengejar masa depan tanpa melupakan masa lalu

Sesudah semuanya membentuk dirinya
aku mohon ya Tuhan
Rahmatilah ia, dengan rasa humor
sehingga serius tak berlebihan
berilah kerendahan hati, kesederhanaan dan kesabaran

Ini semua ya Tuhan
dari kekuatan dan keagungan Mu itu
jika sudah demikian Tuhanku
beranilah aku berkata:

“Tak sia-sia hidup sebagai bapaknya”

Build me a son, O Lord, who will be strong enough to know when he is weak, and brave enough to face himself when he is afraid; one who will be proud and unbending in honest defeat, and humble and gentle in victory.
Build me a son whose wishbone will not be where his backbone should be; a son who will know Thee….Lead him, I pray, not in the path of ease and comfort, but under the stress and spur of difficulties and challenge. Here let him learn to stand up in the storm; here let him learn compassion for those who fail.
Build me a son whose heart will be clean, whose goal will be high; a son who will master himself before he seeks to master other men; one who will learn to laugh, yet never forget how to weep; one who will reach into the future, yet never forget the past.
And after all these things are his, add, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious, yet never take himself too seriously. Give him humility, so that he may always remember the simplicity of greatness, the open mind of true wisdom, the meekness of true strength.
Then I, his father, will dare to whisper, “I have not lived in vain.”

Sabtu, 28 April 2012

I LOVE YOU

Cerita berikut dikirimkan oleh seorang sahabat kami dan merupakan kisah nyata di dalam pernikahannya. Sahabat kami ini diam-diam memiliki bakat menulis sesuatu yang puitis........ Kisah ini begitu indah dan sayang untuk dilewatkan. Atas seijinnya saya publish di Facebook dan blog saya leoimannuel.blogspot,com, dengan beberapa penambahan atau pengurangan minor yang tidak berarti dan yang pasti tidak mengurangi tulisan aslinya. Semoga dapat menjadi berkat.

I love you.

Yang menabur, akan menuai
Taburlah kasih, maka kasih akan berlimpah pada waktu menuai tiba.

Setelah bertahun-tahun menikah dan punya anak, rasanya sungkan untuk bilang " I love You.. " padanya.
Alasannya jelas... terdengar kekanak-kanakan, dan tanpa debar-debar di dada seperti  waktu pacaran. Kupikir mengucapkan  "I love you “ akan terdengar kaku dan hambar.
Namun aku memutuskan untuk melakukannya.

Pertama kali aku perlu membulatkan tekad mengenyahkan rasa malu.
Suaraku terdengar agak serak, dan pelan. Ternyata untuk bisa memulainya  perlu kerendahan hati juga, tapi akhirnya aku berhasil juga bilang: " I love you. " Dia hanya tersenyum.
Lalu lain kesempatan ku coba lagi bilang:  "I love you."
Setelah beberapa kali aku mulai terbiasa, aku bisa mengucapkannya dengan santai.

Setelah terbiasa aku tidak lagi menunggu kesempatan, malah aku mulai cari kesempatan. Sambil meletakan piring makan untuknya aku sengaja berbisik cepat: "I love you"
atau sesaat sebelum tidur sambil membelai rambutnya aku bilang:  "I love you "  atau pagi‎ hari saat membangunkannya  aku akan memberinya hadiah  sebuah kecupan dan bilang:  "selamat pagi sayang" dan "I love you"
Beberapa waktu responnya hanya senyum. Di benakku sempat berpikir:  "Apakah ada gunanya semua ini?"
Tapi aku memutuskan untuk tetap melanjutkannya.

Lewat beberapa waktu, responnya mulai berubah. Saat ku bilang:  "I love you " dia menjawab:  "iya" (mm.. Apa ini bisa di sebut sebuah kemajuan ??)

Lewat beberapa waktu lagi responnya ternyata semakin membaik, ia tidak hanya tersenyum dan menjawab “ iya,” tapi juga berkata:  "I love you too"
Berulang kali ia berkata : "I love you too"
Lewat beberapa waktu ... aku tidak lagi bilang:  "I love you."
Tapi dia yang bilang: "I love you" dan aku menjawab: "I love you too"

Akhir cerita, tidak masalah siapa duluan yang mulai mengucapkan "I love you"
Tapi bagi kami tiada hari yang terlewatkan tanpa mengucapkan “AKU CINTA PADAMU.”

Tentu saja kata-kata “I love you” bisa menjadi sebuah kalimat kosong. Dan mengucapkannya hanya sebagai bagian dari rutinitas yang menjemukan, bila tidak di renungkan maknanya, sambil sesekali mengenang detail kisah romantis dulu dan terus menciptakan momen-momen yang indah bersamanya di setiap kesempatan.

Take time to love and to be loved.
Mudah-mudahan dengan demikian kisah cinta kita seindah di dunia dongeng yang  ending nya selalu: “…….. And they live happily ever after.”

Selasa, 18 Oktober 2011

BELAJAR MEMBERI

Pada suatu Sabtu di bulan Juli saya mengkoordinir sebuah acara sosial. Kami mengundang siswa-siswi dari sebuah TK untuk anak-anak kurang mampu dari sebuah tempat di pinggiran Jakarta, ke sebuah restoran waralaba yang terkenal karena ayam gorengnya yang renyah dan enak. Pagi itu sekitar pukul sembilan pagi dengan sebuah bis yang sengaja kami sewa mereka tiba di pusat perbelanjaan besar di Jakarta Utara di mana lokasi restauran berada. Dengan senyum menghiasi wajah mereka dan langkah ringan namun bersemangat mereka masuk dan langsung menuju lokasi restoran yang memang berada di bagian depan pusat perbelanjaan tersebut. Saya menduga-duga mungkin ini pertama kalinya mereka masuk ke pusat perbelanjaan semegah ini dan masuk ke restoran lalu makan makanan yang untuk sebagian besar kita adalah makanan biasa. Saya dan beberapa teman yang menjadi sukarelawan menyambut mereka dan menggandeng mereka satu persatu untuk segera naik ke lantai dua. Acara segera akan dimulai. Tamu-tamu agung sudah datang.

Acara dipimpin oleh MC dari retauran tersebut. Bak acara ulang tahun orang gedongan permainan demi permainan diadakan. Sang MC sangat ahli dan terlihat sudah sangat terbiasa memandu acara yang dihadiri oleh anak-anak. Terbukti anak-anak dan kami orang dewasa sangat tertarik mengikutinya. Kami sama-sama tertawa terbahak-bahak ketika ada yang lucu dari permainan itu, atau ketika sang MC mengajukan pertanyaan berupa lagu yang menjebak. Terlihat wajah-wajah berbahagia dari anak-anak tersebut. Lagi-lagi saya berpikir jangan-jangan ini acara meriah pertama yang mereka hadiri. Mungkin saja.

Selain acara permainan, kami juga memberikan sepatu, tas sekolah lengkap dengan buku tulis dan alat-alat tulis. Lengkaplah sudah kegembiraan mereka, kami sudah memberikan sukacita itu kepada mereka, itu yang saya pikirkan. Siapa nyana hari itu saya belajar tentang ketulusan memberi dari anak-anak kurang mampu ini.

Ketika giliran makan, para sukarelawan mengantarkan mereka satu-persatu untuk mecuci tangan, sebuah pendidikan kebersihan diri yang penting. Lalu mengantarkan mereka ke meja di mana sebagian dari kami sudah menyiapkan makanan berupa nasi, ayam goreng dan soft drink. Sebelum makan tidak lupa berdoa, bersyukur kepada yang Maha Kuasa atas berkat-Nya. Setelah berdoa satu persatu mereka membuka kotak makanan di depan mereka. Kakak-kakak sukarelawan membantu mereka membuka kotaknya, sebagian dengan telaten membantu menguliti ayam goreng menjadi potongan-potongan kecil agar mudah masuk ke mulut-mulut mungil mereka dan mengunyahnya.

Istri saya memperhatikan seorang anak yang tidak membuka kotak makanannya, lalu memberitahu saya.

Dengan lembut saya bertanya: “Adik, kenapa tidak di makan? Sini Kakak bantu membuka kotaknya.”

Dengan gelengan perlahan si adik kecil menjawab: “Saya tidak mau makan, ini buat ibu di rumah.”

Saya dan istri menjadi tidak bisa berkata-kata alias speechless. Si kecil yang saya yakin seyakin-yakinnya tidak pernah makan makanan seperti itu, masih ingat kepada ibunya di rumah. Dengan tulus dia tidak memakan dan memilih untuk mempersembahkannya kepada sang bunda. Dia memilih diam dan mengilar melihat teman-temannya makan dengan lahap.

Saya jadi teringat kepada cerita Tuhan Yesus tentang pemberian seorang janda miskin yang tercatat di dalam injil Markus 12:41-44. Komentar Tuhan Yesus tentang pemberian janda tersebut yang secera jumlah sangat sedikit dibandingkan dengan pemberian orang-orang kaya adalah:

“Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Lukas 12:43-44

Janda itu memberi dari kekurangannya, dengan tulus dia memberi persembahan buat Tuhan. Tuhan melihat hati dan bukan jumlah persembahan. Manusia melihat jumlah dan bukan ketulusan hati si pemberi.

Kembali kepada si adik kecil. Dia memberi dengan ketulusan hatinya. Dia tahan lapar dan air liurnya demi sang ibu. Lain kali belum tentu dia dapat makan makanan seperti itu, minimal tidak dalam waktu dekat, namun dia rela memberi dari kekurangannya.

Ketika acara selesai ternyata banyak dari siswa-siswa TK tersebut yang tidak menghabiskan ayam goreng tersebut, dengan alasan akan dilanjutkan makannya buat sore, sayang jika dihabiskan cepat-cepat dan banyak dari mereka menyisakannya agar adik, kakak atau orang tuanya dapat mencicipi ayam goreng khas negeri Paman Sam tersebut.

Tanpa mereka sadari sesunggunya mereka sedang mengajari saya tentang makna memberi. Saya belajar dari ketulusan mereka. Saya belajar.

Jumat, 15 Juli 2011

WU XIA

Pelanggaran, Hukum dan Pengampunan

Adakah kesempatan kedua bagi seorang penjahat kejam untuk dia melupakan masa lalunya dan memulai sebuah hidup baru di dalam pertobatan tanpa kejaran hukum dan masa lalu? Itulah pertanyaan yang coba diajukan oleh Liu Jin-xi (Donny Yen), seorang pembunuh kejam dan putra tunggal dari klan pembunuh kejam. Di samping itu Xu Bai-jiu (Takeshi kaneshiro), seorang detektif polisi juga bergelut dengan pertanyaan mana lebih penting? Menegakkan hukum? Atau mengikuti hati nurani? Kedua pertanyaan inilah yang coba dijawab dan digambarkan di dalam film Wǔxiá (Wu Xia) (Traditional Chinese: 武俠; Simplified Chinese: 武侠; pronounced "woo seeyah") literally meaning "martial arts chivalry" or "martial arts heroes" or "swordsman"), yang di sutradarai oleh Peter Chan.

Secara singkat film Wu Xia bercerita tentang Liu Jin-xi (Donny Yen) seorang pemilik toko kertas di sebuah desa kecil dan damai di Yunan. Ketenangan hidup Liu Jin-xi terusik ketika dia berhasil membunuh dua orang perampok kejam yang sudah lama menjadi buronan polisi, yang mencoba merampok tokonya. Kejadian ini menyulut keingintahuan detektif polisi Xu Bai-jiu (Takeshi Kaneshiro), karena bagaimana mungkin seorang desa sederhana bisa membunuh dua orang perampok, yang sudah terkenal kekejaman dan kelihaiannya? Ternyata memang Liu Jin-xi bukanlah orang desa sederhana, identitas aslinya adalah Tang Long, salah seorang anggota klan 72, sisa-sisa klan Tanguts (mantan penguasa Xixia, sebuah negara tetangga China) yang menjadikan pemerkosaan, penjarahan/perampokan dan pembantaian sebagai sebuah gaya hidup.

Suatu kejadian di rumah penjagal hewan merubah hidupn Liu Jin-Xi, yang segera melarikan diri ke sebuah desa terpencil dan menikah dengan janda 1 anak bernama Ayu (Wei Tang). Tang Long berusaha bertobat dan memulai hidup baru sebagai Liu Jin-xi, tapi apa daya hukum dan klan Tanguts tidak mengijinkannya berubah.

Di dalam film ini kedua pertanyaan di atas mengemuka dengan nyata. Liu Jin-xi mewakilkan seseorang yang ingin hidupnya berubah, adakah kesempatan kedua baginya? Apakah keinginan untuk berubah tanpa dakwaan masa lalu adalah sebuah kenihilan atau kenyataan? Apakah masa lalunya mengijinkannya berubah? Sebaliknya detektif polisi Xu Bai-jiu (Takeshi Kaneshiro) mewakilkan pertanyaa apakah hukum akan tutup mata terhadap dosa-dosa masa lalu, hanya karena orang tersebut menyatakan diri mau bertobat?

Bagi Xu Bai-jiu hukum adalah sesuatu yang kaku. Dia berdiri tegak bagai batu karang aturan yang tidak bisa tidak harus dilaksanakan siapapun pelakunya dan apapun resikonya. Di film ini kekakuan hukum terlihat ketika diceritakan dengan singkat detektif Xu, yang tanpa tedeng aling-aling menangkap calon mertuanya yang kedapatan menjual obat palsu, yang mengakibatkan sang calon mertua bunuh diri karena malu. Padahal obat palsu tersebut tidak membahayakan orang yang membelinya. Hubungannya dengan tunangan menjadi rusak. Namun bagi detektif Xu, hal tersebut adalah resiko dalam penegakkan hukum. Kekakuan pelaksanaan hukum ini dipertanyakan oleh anak buahnya yang mengatakan: Jika hukum tidak bisa menolong orang yang bertobat, apakah gunanya hukum tersebut? Di tangan Xu, hukum bukan lagi sebagai pengendali tingkah laku manusia melainkan sebagai alat penghukum yang kejam dan tanpa perasaan.

Hal ini juga yang dipertanyakan oleh Tuhan Yesus ketika menghadapi penegakkan syariat Taurat yang kaku: Kemudian Ia berkata kepada mereka: "Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?" Lukas 14:5, menurut adat istiadat Yahudi, selama hari Sabat seseorang tidak boleh melakukan aktivitas apapun, namun Tuhan Yesus mempertanyakannya, jika anakmu terperosok? Apakah engkau akan membiarkannya menderita bahkan sampai meninggal hanya karena kejadian itu terjadi pada hari Sabat? Mana lebih penting? Hidup manusia atau hukum?

Jika berlandaskan pada hukum maka tidak ada manusia yang bisa bebas dari murka Allah. Roma 3:23 mengatakan: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Dan “.......upah dosa ialah maut.” Roma 6:23. Jika berlandaskan hukum maka nasib perempuan di tepi sumur di Samaria, wanita yang kedapatan berzinah, Zakheus bahkan Saulus akan terbuang selamanya di api neraka. Tapi syukur kepada Allah bahwa ada anugerah. Upah dosa memang maut, “......tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Keselamatan adalah anugerah. Paulus di dalam Efesus 2:8-9 menuliskan:

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”

Tidak ada seorangpun yang dapat mengerjakan atau membeli keselamatan. Karena jika seseorang mampu melakukannya berarti dia lebih hebat atau minimal sama dengan Tuhan, jika seseorang lebih hebat atau minimal sama dengan Tuhan maka dia tidak perlu Tuhan lagi karena dia sudah menjadi Tuhan.

Oleh karena keselamatan adalah suatu kenihilan bagi manusia maka Allah memberikannya gratis, sebagai suatu anugerah bagi manusia. Hukum anugerah inilah yang membedakan kekristenan dengan hukum-hukum yang lain. Apakah dengan anugerah orang bisa seenaknya berbuat dosa? Tentu tidak. Justru ketika mendapatkan anugerah yang besar seseorang akan dengan sungguh-sungguh menjalani hidup dengan benar. Kebebasan yang disertai tanggung jawab selalu ada di hatinya.

Wajah kasih karunia ini tergambar melalui wujud istri Liu Jin-xi, Ayu (Wei Tang) yang menerima suaminya apa adanya meski tanpa identitas dan juga terlihat meski sekilas namun amat kuat tergambar melalui peran mantan kekasih Xu Bai-jiu. Untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan Tang Long hakim meminta sogokan 20 tael perak, sementara gaji Xu Bai-jiu sebagai detektif polisi hanya 2 tael perak setahun, untuk suksesnya tugas Xu, sang mantan tunangan memberikan uangnya 20 tael perak, meskipun dia sangat membenci Xu, yang mengakibatkan ayahnya bunuh diri.

Kasih karunia mampu melihat melampaui kekakuan kebencian, ketakutan dan hukum. Kasih karunia melihat lebih jauh dan lebih dalam melampaui apa yang hukum mampu lihat. Hukum hanya melihat bentuk fisik, namun kasih karunia melihat ke dalam hati manusia. Contohnya adalah hukum tidak bisa menghukum kejahatan yang belum dilakukan, namun bagi kasih karunia yang melihat sampai kedalaman hati manusia, sudah menilai keinginan sebagai suatu kejahatan (Matius 5:28 “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”). Sebaliknya hukum hanya mampu mengatur keteraturan hidup manusia sebatas luar, namun tidak mampu merubah natur keberdosaan manusia, namun kasih karunia mampu mengubah natur keberdosaan manusia dan menjadikanya manusia baru.

Tanpa penerimaan tulus istrinya dan seluruh penduduk desa apakah Tang Long yang kejam bisa berubah menjadi Liu Jin-Xi yang lemah lembut? Film menggambarkan bagaimana Liu Jin-Xi kembali berubah menjadi Tang Long karena kejaran masa lalu yang terus menerus mengejar dan mendakwanya. Dari mana klan Tanguts mengetahui keberadaan Tang Long? Hakim yang tidak jujur yang disuap oleh Xu dengan 20 tael perak untuk mengeluarkan surat penangkapan Tang Long, menjadi serakah dan mengharapkan imbalan dengan mengadukannya ke klan Tanguts. Dari sinilah masa lalu mengejar Liu Jin-Xi dan memaksanya berubah menjadi Tang Long, namun sekali lagi hanya kasih karunia yang menjadikannya sekali lagi sebagai Liu Jin-Xi. Apakah yang merubah hidup Zakheus? Apakah yang merubah perempuan berdosa yang di bawa ke Tuhan Yesus? Atau perempuan di tepi sumur Samaria? Atau apakah yang merubah hidup Paulus? Dan hidup jutaan orang lainnya? Bukan hukum yang kaku melainkan kasih karunia. JLI

Kamis, 17 Maret 2011

PORNOGRAFI

Suatu kali saya menjadi utusan sinode untuk menghadiri munas salah satu lembaga gereja aras nasional, di suatu kota, di sebuah hotel. Salah satu kejadian menarik yang saya alami adalah ketika di sela-sela waktu rehat munas saya turun tangga ke arah basement dan saya melihat dua buah patung perempuan yang diletakkan di sisi kiri dan kanan pintu masuk ke lobby hotel dari parkiran mobil basement, ditutupi kain putih sampai sebatas leher. Seingat saya tradisi pembungkusan patung, arca maupun gapura hanya ada pada masyarakat Hindu, teristimewa di Bali. Itupun yang dibungkus kain bercorak hitam putih khas papan catur adalah patung dewa dan gapura yang bernilai keagamaan. Tidak pernah patung perempuan sebagai penghias dekorasi sebuah hotel berarsitektur gaya renaissance Eropa ditutupi oleh kain.

Iseng-iseng saya bertanya kepada Pak Satpam penjaga pintu, mengapa patung dibungkus kain putih? Pak Satpam menjawab berhubung mentri agama mau datang ke hotel tersebut, dan kedua patung perempuan tersebut agak vulgar dan cenderung berbau pornografi. Jadi atas nama rasa segan kepada mentri agama kedua patung tersebut ditutupi.

Saya tertawa geli di dalam hati mendengar alasan management hotel menutupi kedua patung perempuan tersebut. Mengapa? Karena pertama, kedua patung tersebut diletakkan di basement. Suatu lokasi di mana seorang mentri tidak akan menginjakkan kakinya, karena bukankah dia memiliki supir, yang akan men-drop-nya langsung di depan lobby? Sesuatu yang tidak kelihatan tidak akan menimbulkan syak wasangka bukan?

Kedua, tindakan menutupi kedua patung perempuan tersebut sebenarnya menyatakan bahwa keberadaan patung-patung tersebut salah dan melanggar etika kepatutan, moral dan iman. Namun, pihak hotel sengaja meletakkannya di sana, alias sengaja melanggar hukum dan norma-norma moral dan etika. Lalu dengan nakal mencoba menutupinya dari pandangan seorang menteri agama. Ketika sang mentri pergi, pembungkus patung dibuka kembali. Tindakan tersebut sebenarnya hendak mengakali seorang mentri agama, yang nota bene adalah seorang pejabat negara!

Ketiga, dan ini yang paling menggelikan saya. Di lobby hotel, sebuah tempat umum, tempat di mana mentri agama hampir pasti bisa melihatnya, terpampang sebuah lukisan besar dan panjang, yang melukiskan adegan banyak perempuan sedang mandi. Sebagian telanjang setengah dada, sebagian lagi telanjang bulat. Lukisan tersebut dibiarkan terbuka dan menjadi tontonan umum. Mengapa yang letaknya agak tersembunyi dari pandangan mata seorang menteri agama ditutupi, dan yang berada di tempat umum malah dibiarkan terbuka begitu saja. Malah seingat saya patung tersebut bukankah patung wanita telanjang.

APA ITU PORNOGRAFI?
Apakah itu pornografi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; 2 bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dl seks.

Menurut definisi KBBI ini ada di manakah masalahnya? Di konten porno atau di nafsu berahi kita? Jika saya nyatakan melalui pertanyaan demikian: apakah ketelanjangan adalah sebuah pornografi? Apa jawaban Anda? Jika ya, bagaimana saat kita mandi? "Ya, kalo mandi kan sendirian aja!" Atau bagaimana jika Anda seorang pria dimasukkan ke sebuah kamar gelap gulita, lalu tanpa sepengetahuan Anda, saya masukkan seorang wanita muda, cantik, seksi dan telanjang bulat. Apakah nafsu berahi Anda akan bangkit? Tentunya tidak, karena Anda tidak mengetahui bahwa di kamar tersebut ada seorang wanita yang sangat menarik hati, bukan? Akankah si wanita bisa disamakan dengan definisi pornografi KBBI di atas? Tentu juga tidak, karena meski telanjang, tidak ada nafsu berahi yang dibangkitkan. Atau bagaimana jika di kamar yang sama saya masukkan seorang perempuan buruk rupa, namun bersuara merdu. Lalu melalui kata-katanya yang mendesah penuh rayuan maut, wanita buruk rupa ini menggambarkan betapa Indah tubuhnya, betapa seksinya dia, bagaimana wajahnya mirip dengan salah satu artis bom seks, dan bagaimana dia kepingin disentuh oleh Anda. Apakah berahi Anda akan bangkit? Jika jujur bicara tentu ya, bukan? Bukankah bisnis sex phone, menawarkan jasa seks melalui imajinasi pria yang dibangun melaui suara? Tanpa pelanggan bisa melihat bahwa yang merayunya diujung telepon adalah seorang perempuan berwajah dan bertubuh sangat buruk. Kembali ke kamar, lalu di kamar itu lampu-lampu dinyalakan dan Anda bisa melihat wajah wanita buruk rupa tersebut, apakah nafsu berahi Anda tetap bertahan? Saya berani bertaruh tentu tidak, bukan?

Menurut perenungan saya, pornografi itu adanya di hati dan pikiran manusia yang sudah dikorupsi oleh dosa, dan bukan pada obyeknya. Ketelanjangan berupa lukisan, patung, verbal maupun tulisan yang dipertontonkan menjadi salah karena pikiran yang sudah kotor oleh dosa. Baik yang mempertontonkan dengan maksud membangkitkan berahi orang lain atau mereka yang menontonnya adalah salah menurut kaidah hukum, moral, etika dan agama. Seandainya manusia tidak jatuh ke dalam dosa, maka dunia ini Akan menjadi tempat nudis, karena semua orang akan telanjang, dan tidak akan ada yang malu, maupun terjatuh kepada nafsu berahi yang liar sehingga berani melanggar hukum Allah. Alat kelamin manusiapun tidak akan disebut dengan istilah "kemaluan," karena memang tidak ada yang memalukan mengenainya, kecuali jika diumbar oleh karena nafsu rendah yang bergelimang dosa.

MERUBAH HATI, BUKAN MENYEMBUNYIKAN ATAU SEKEDAR MELARANG
Saya ingat memoar singkat seorang dr. Boyke Dian Nugraha. Bagaimana perjuangannya memberikan pendidikan seks kepada masyarakat. Banyak orang temasuk negara mencibirnya, bahkan menghujatnya sebagai dokter porno. Karena pada masa itu seks masih tabu untuk dibicarakan. Namun, kehamilan di luar nikah dikalangan pelajar meningkatkan. Hal ini yang mendorong dokter Boyke tetap berjuang mengedukasi masyarakat dalam hal seks.

Tidak dibicarakan, tabu untuk diajarkan, dilarang atau disembunyikan tidaklah akan menahan laju pornografi, bukan karena kontennya, namun semata-mata karena hati dan pikiran yang sudah rusak oleh karena dosa. Bahkan sekalipun seorang wanita memakai baju besi tertutup full, namun seorang pria masih dapat menelanjanginya dengan imajinasinya.

Yesus Merubah Hati
Oleh karena itu Yesus lebih tertarik mengubah sumbernya yaitu hati manusia daripada memberikan setumpuk peraturan yang harus ditaati dengan kaku dan ketat. Musa sudah mencobanya dan gagal. Musa memberikan peraturan kepada bangsanya, dengan maksud agar bangsanya menjadi lebih bermoral sehingga melaluinya menjadi berbeda dengan bangsa-bangsa kafir dan bar-bar di sekeliling mereka.

Mereka sudah menjadi bangsa pilihan jauh sebelum Taurat diturunkan, namun apa daya peraturan yang baik di tangan manusia yang hati dan nafsunya masih kotor, berubah menjadi monster legalisme yang menakutkan. Hal ini mengakibatkan ketaatan mutlak terhadap Taurat menjadi syarat mutlak agar menjadi orang atau bagian dari bangsa pilihan Allah. Jika, ketaatan mutlak terhadap hukum Taurat adalah syarat menjadi bagian bangsa pilihan, tentunya Abraham, Ishak dan Yakub tidak termasuk di dalamnya, karena mereka tidak memiliki hukum Taurat. Jika ketiga patriarch tidak layak dipilih karena tidak memiliki hukum Taurat, maka tidak ada bangsa pilihan Dan tidak ada Israel.

Ada idiom yang mengatakan bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar. Idiom ngawur, namun pada kenyataannya memang demikian. Contoh, peraturan lalu lintas ditaati selama ada petugas yang mengawasi, jika tidak ada petugas, maka peraturan tinggallah peraturan, pelanggaran jalan terus. Contoh sederhana, jika kita lupa menggunakan sabuk keselamatan (safety belt) ketika menumpang mobil teman, peringatan yang Akan diberikan teman kita kepada kita adalah: "Hei, pake dong safety belt-nya, nanti ditangkap polisi!" Seharusnya masalah safety belt, bukanlah masalah ditangkap polisi, namun masalah keamanan diri sendiri. Jika kesadaran ini muncul dari dalam hati sendiri maka meski tidak ada polisi sekalipun kita tetap akan menggunakan safety belt.

Meskipun penting, namun peraturan terbaik bukanlah peraturan yang tertulis di buku, melainkan yang terpatri di dalam hati. Oleh karena itu Yesus dan para rasul lebih tertarik merubah hati manusia. Mereka menyadari bahwa sumber dari segala kejahatan manusia bersumber di hati (Amasal 4:23; Matius 12:34, 15:18; Roma 12:2; Kolose 3:5-10). Bisakah membumihanguskan pornografi dengan kekerasan, peraturan-peraturan ketat dengan hukuman yang berat, jika sumbernya di hati manusia yang kotor?

Dapatkah hukum tertulis mengatur hati manusia? Pernahkah ada orang yang dihukum karena terbersit keinginan dihatinya untuk mencuri? Atau membunuh? Hukum tertulis hanya dapat mengatur niat yang sudah berbuah menjadi tindakan nyata. Namun, hukum Tuhan mengatur sampai ke hati manusia, meski belum berbuahkan tindakan nyata (Matius 5:28).