Selasa, 31 Juli 2012

Bapa, Pegang Tanganku……


Sering kita berdoa: “Bapa, pegang tanganku dan jangan lepaskan, ku tak dapat jalan sendiri”
Tapi tahukah Anda bahwa pegangan tangan Bapa, adalah sebuah genggaman yang penuh kasih dan bukan sesuatu yang menyakitkan, supaya kita dapat berjalan beriringan bersama Dia, dan bukannya malah menyeret kita sepanjang jalan.
Namun, sebagaimana sebuah genggaman tangan penuh kasih, tangan lainnya dapat dengan mudah melepaskan diri, dan ini seringkali kita lakukan manakala pesona dunia atau sebuah kekhawatiran bahkan ketakutan membuat kita merasa bahwa genggaman tangan ini membatasi gerak langkah kehidupan atau kita merasa genggaman tangan ini terlalu lemah sehingga tidak dapat diandalkan, dengan mudahnya kita melepaskan diri lalu berpegangan dengan genggaman lain yang kita anggap lebih bebas atau lebih mampu melindungi kita.

Atau sebagian kita berdoa: “Bapa, lindungi aku dalam naungan-Mu”
Bapa berkata bahwa Dia melindungi kita seperti melindungi biji mata-Nya sendiri. Memang, Bapa membangun sebuah perlindungan yang kokoh, yang musuh tidak dapat menerobosnya dari luar. Namun, ini bukanlah sebuah penjara, sehingga kita dapat keluar kapanpun kita suka. Dan perlindungan yang Bapa bangun tidaklah sound proof. Sehingga, musuh masih dapat mengirimkan suara-suara dari mulai rayuan yang menggoda sampai yang mengintimidasi, sehingga membuat kita berpikir bahwa naungan-Nya adalah sebuah penjara yang menghimpit dan membelenggu, bahkan sangat lemah sehingga kita mulai meragukan kebaikkan, karakter bahkan kuasa Bapa. Kita merasa dunia di luar lebih memuaskan. Maka perlahan namun pasti kita berjalan meninggalkan tempat naungan kita.

Seseorang mungkin beragumentasi: “Lalu, jika demikian. Bukankah Seharusnya Bapa memegang tangan kita lebih erat atau dia menempatkan penjaga yang melarang kita keluar!”
Satu hal yang kita perlu tahu tentang Bapa adalah bahwa Dia bukanlah seorang tirani pemaksa. Bapa adalah seorang pecinta sejati, yang telah membuktikannya dengan menyerahkan nyawa-Nya sendiri bagi manusia yang Dia cintai. Bapa menuntut cinta dan ketaatan dari kita.
Cinta sejati dan ketaatan bukanlah cinta sejati dan ketaatan tanpa disertai oleh pilihan untuk tidak mencintai dan untuk memberontak. Sebuah robot dapat diprogram untuk mengasihi dan mentaati programmernya. Namun, robot tidak dapat melakukan hal lain selain sebuah program yang diupload ke dalam dirinya.

Kita tidak bisa mencap seorang anak sebagai anak yang taat, hanya karena dia lebih memilih belajar sementara ia berada diantara begitu banyak mainan dan konsol permainan, dan di sudut ruangan ada ayahnya yang begitu galak sedang memegang rotan.
Namun, jika si anak memilih belajar, sementara orang tuanya bepergian dengan hanya meninggalkan pesan: “Nak, jangan main ya, belajar.” Dan diantara pilihan main dan belajar sang anak memilih untuk belajar. Baru dapat dikatakan sang anak adalah seorang anak yang patuh dan taat kepada orang tuanya.

Sang Putera, Yesus Kristus telah membuktikan kasih dan ketaatan kepada Bapa-Nya dengan memilih taat kepada kehendak Bapa daripada kehendak-Nya sendiri. Padahal Dia memiliki kesempatan untuk menolak cawan penderitaan yang ditawarkan kepada-Nya. Namun, cinta dan ketaatan-Nya kepada Bapa sangat sempurna sehingga Dia memilih untuk taat. Ketaatan yang demikianlah yang Dia tuntut dari kita. Dapatkah kita tetap mentaati-Nya? Tetap menggemgam tangan-Nya? Tetap tinggal dalam naungan-Nya? Meskipun dunia tampak lebih menjanjikan. Pilihan kita akan menentukan kualitas cinta dan ketaatan kita kepada-Nya.

Sebagian lain mungkin akan berkata: “kami sudah berusaha taat dan tetap tinggal dalam naungan Bapa, namun mengapa penderitaan dan kesusahan masih menghampiri kami? Tidakkah genggaman dan perlindungan-Nya cukup untuk melindungi kami dari semua itu?!”

Bapa adalah ayah yang baik. Sebagaimana ayah yang baik lainnya, Bapa tidak akan membiarkan kita menjadi anak manja yang kekanan-kanankan dan tidak kapabel. Anak manja tidak akan mewarisi kerajaan-Nya, hanya seorang putera yang dewasalah yang akan mewarisinya. Bapa tahu untuk dapat menjadi seorang dewasa maka Bapa mengizinkan kesusahan dan pergumulan menghampiri hidup kita. Dia mengerti betul prinsip “No Crown Without Cross”. Bahwa sebuah medali diperoleh melalui sebuah perjuangan. 

Seorang pahlawan diciptakan di medan perang. Karakter seseorang dibentuk melalui pilihan-pilihan yang dia buat, terutama yang dia buat didalam tekanan. Lihatlah para pahlawan-Nya yang kisah hidupnya tertulis di buku sejarah-Nya yang bernama alkitab. Adakah mereka semua orang-orang lemah dan manja? Tidak! Mereka semua adalah para pria dan wanita gagah perkasa yang dibentuk melalui kesukaran hidup. Yusuf harus mengalami fase menjadi budak dan penjara sebelum dia menjadi raja muda di Mesir. Musa harus mengalami tanah Midian sebelum berhasil memimpin dua juta orang Israel keluar dari tanah Mesir, Daud dikejar-kejar Saul sebelum dia dapat menggenggam takhta Israel di tangannya. Dan masih banyak contoh lainnya.

Tengoklah doa yang berupa puisi yang ditulis oleh Jendral Douglas MacArthur, panglima perang Amerika Serikat pada Perang Dunia ke-2 di Asia pacific, bagi anaknya yang kala itu baru berusia 14 tahun:

“Doa untuk Putraku”.
Tuhanku, jadikanlah anakku
seorang yang cukup kuat mengetahui kelemahan dirinya
berani menghadapi kala ia takut
yang bangun dan tidak runduk dalam kekalahan yang tulus
serta rendah hati dan penyantun dalam kemenangan

Oh Tuhan, jadikanlah anakku
seorang yang tahu akan adanya Engkau
dan mengenal dirinya, sebagai dasar segala pengetahuan

Ya Tuhan, bimbinglah ia
bukan di jalan yang gampang dan mudah
tetapi di jalan penuh desakan, tantangan dan kesukaran
Ajarilah ia: agar ia sanggup berdiri tegak di tengah badai
dan belajar mengasihi mereka yang tidak berhasil

Ya Tuhan jadikanlah anakku
seorang yang berhati suci, bercita-cita luhur
sanggup memerintah dirinya sebelum memimpin orang lain
mengejar masa depan tanpa melupakan masa lalu

Sesudah semuanya membentuk dirinya
aku mohon ya Tuhan
Rahmatilah ia, dengan rasa humor
sehingga serius tak berlebihan
berilah kerendahan hati, kesederhanaan dan kesabaran

Ini semua ya Tuhan
dari kekuatan dan keagungan Mu itu
jika sudah demikian Tuhanku
beranilah aku berkata:

“Tak sia-sia hidup sebagai bapaknya”

Build me a son, O Lord, who will be strong enough to know when he is weak, and brave enough to face himself when he is afraid; one who will be proud and unbending in honest defeat, and humble and gentle in victory.
Build me a son whose wishbone will not be where his backbone should be; a son who will know Thee….Lead him, I pray, not in the path of ease and comfort, but under the stress and spur of difficulties and challenge. Here let him learn to stand up in the storm; here let him learn compassion for those who fail.
Build me a son whose heart will be clean, whose goal will be high; a son who will master himself before he seeks to master other men; one who will learn to laugh, yet never forget how to weep; one who will reach into the future, yet never forget the past.
And after all these things are his, add, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious, yet never take himself too seriously. Give him humility, so that he may always remember the simplicity of greatness, the open mind of true wisdom, the meekness of true strength.
Then I, his father, will dare to whisper, “I have not lived in vain.”