Sering kita berdoa: “Bapa, pegang tanganku dan jangan
lepaskan, ku tak dapat jalan sendiri”
Tapi tahukah Anda bahwa pegangan tangan Bapa, adalah sebuah
genggaman yang penuh kasih dan bukan sesuatu yang menyakitkan, supaya kita
dapat berjalan beriringan bersama Dia, dan bukannya malah menyeret kita
sepanjang jalan.
Namun, sebagaimana sebuah genggaman tangan penuh kasih,
tangan lainnya dapat dengan mudah melepaskan diri, dan ini seringkali kita
lakukan manakala pesona dunia atau sebuah kekhawatiran bahkan ketakutan membuat
kita merasa bahwa genggaman tangan ini membatasi gerak langkah kehidupan atau
kita merasa genggaman tangan ini terlalu lemah sehingga tidak dapat diandalkan,
dengan mudahnya kita melepaskan diri lalu berpegangan dengan genggaman lain
yang kita anggap lebih bebas atau lebih mampu melindungi kita.
Atau sebagian kita berdoa: “Bapa, lindungi aku dalam
naungan-Mu”
Bapa berkata bahwa Dia melindungi kita seperti melindungi
biji mata-Nya sendiri. Memang, Bapa membangun sebuah perlindungan yang kokoh,
yang musuh tidak dapat menerobosnya dari luar. Namun, ini bukanlah sebuah
penjara, sehingga kita dapat keluar kapanpun kita suka. Dan perlindungan yang
Bapa bangun tidaklah sound proof.
Sehingga, musuh masih dapat mengirimkan suara-suara dari mulai rayuan yang
menggoda sampai yang mengintimidasi, sehingga membuat kita berpikir bahwa naungan-Nya
adalah sebuah penjara yang menghimpit dan membelenggu, bahkan sangat lemah
sehingga kita mulai meragukan kebaikkan, karakter bahkan kuasa Bapa. Kita
merasa dunia di luar lebih memuaskan. Maka perlahan namun pasti kita berjalan
meninggalkan tempat naungan kita.
Seseorang mungkin beragumentasi: “Lalu, jika demikian. Bukankah
Seharusnya Bapa memegang tangan kita lebih erat atau dia menempatkan penjaga
yang melarang kita keluar!”
Satu hal yang kita perlu tahu tentang Bapa adalah bahwa Dia bukanlah
seorang tirani pemaksa. Bapa adalah seorang pecinta sejati, yang telah
membuktikannya dengan menyerahkan nyawa-Nya sendiri bagi manusia yang Dia
cintai. Bapa menuntut cinta dan ketaatan dari kita.
Cinta sejati dan ketaatan bukanlah cinta sejati dan ketaatan
tanpa disertai oleh pilihan untuk tidak mencintai dan untuk memberontak. Sebuah
robot dapat diprogram untuk mengasihi dan mentaati programmernya. Namun, robot
tidak dapat melakukan hal lain selain sebuah program yang diupload ke dalam
dirinya.
Kita tidak bisa mencap seorang anak sebagai anak yang taat, hanya
karena dia lebih memilih belajar sementara ia berada diantara begitu banyak
mainan dan konsol permainan, dan di sudut ruangan ada ayahnya yang begitu galak
sedang memegang rotan.
Namun, jika si anak memilih belajar, sementara orang tuanya
bepergian dengan hanya meninggalkan pesan: “Nak, jangan main ya, belajar.” Dan
diantara pilihan main dan belajar sang anak memilih untuk belajar. Baru dapat
dikatakan sang anak adalah seorang anak yang patuh dan taat kepada orang
tuanya.
Sang Putera, Yesus Kristus telah membuktikan kasih dan
ketaatan kepada Bapa-Nya dengan memilih taat kepada kehendak Bapa daripada
kehendak-Nya sendiri. Padahal Dia memiliki kesempatan untuk menolak cawan
penderitaan yang ditawarkan kepada-Nya. Namun, cinta dan ketaatan-Nya kepada
Bapa sangat sempurna sehingga Dia memilih untuk taat. Ketaatan yang demikianlah
yang Dia tuntut dari kita. Dapatkah kita tetap mentaati-Nya? Tetap menggemgam
tangan-Nya? Tetap tinggal dalam naungan-Nya? Meskipun dunia tampak lebih
menjanjikan. Pilihan kita akan menentukan kualitas cinta dan ketaatan kita
kepada-Nya.
Sebagian lain mungkin akan berkata: “kami sudah berusaha taat
dan tetap tinggal dalam naungan Bapa, namun mengapa penderitaan dan kesusahan
masih menghampiri kami? Tidakkah genggaman dan perlindungan-Nya cukup untuk
melindungi kami dari semua itu?!”
Bapa adalah ayah yang baik. Sebagaimana ayah yang baik
lainnya, Bapa tidak akan membiarkan kita menjadi anak manja yang
kekanan-kanankan dan tidak kapabel. Anak manja tidak akan mewarisi
kerajaan-Nya, hanya seorang putera yang dewasalah yang akan mewarisinya. Bapa
tahu untuk dapat menjadi seorang dewasa maka Bapa mengizinkan kesusahan dan
pergumulan menghampiri hidup kita. Dia mengerti betul prinsip “No Crown Without Cross”. Bahwa sebuah
medali diperoleh melalui sebuah perjuangan.
Seorang pahlawan diciptakan di medan perang. Karakter
seseorang dibentuk melalui pilihan-pilihan yang dia buat, terutama yang dia
buat didalam tekanan. Lihatlah para pahlawan-Nya yang kisah hidupnya tertulis di
buku sejarah-Nya yang bernama alkitab. Adakah mereka semua orang-orang lemah
dan manja? Tidak! Mereka semua adalah para pria dan wanita gagah perkasa yang dibentuk
melalui kesukaran hidup. Yusuf harus mengalami fase menjadi budak dan penjara
sebelum dia menjadi raja muda di Mesir. Musa harus mengalami tanah Midian
sebelum berhasil memimpin dua juta orang Israel keluar dari tanah Mesir, Daud
dikejar-kejar Saul sebelum dia dapat menggenggam takhta Israel di tangannya.
Dan masih banyak contoh lainnya.
Tengoklah doa yang berupa puisi yang ditulis oleh Jendral
Douglas MacArthur, panglima perang Amerika Serikat pada Perang Dunia ke-2 di
Asia pacific, bagi anaknya yang kala itu baru berusia 14 tahun:
“Doa untuk Putraku”.
Tuhanku, jadikanlah
anakku
seorang yang cukup kuat
mengetahui kelemahan dirinya
berani menghadapi kala
ia takut
yang bangun dan tidak
runduk dalam kekalahan yang tulus
serta rendah hati dan
penyantun dalam kemenangan
Oh Tuhan, jadikanlah
anakku
seorang yang tahu akan
adanya Engkau
dan mengenal dirinya,
sebagai dasar segala pengetahuan
Ya Tuhan, bimbinglah ia
bukan di jalan yang
gampang dan mudah
tetapi di jalan penuh
desakan, tantangan dan kesukaran
Ajarilah ia: agar ia
sanggup berdiri tegak di tengah badai
dan belajar mengasihi
mereka yang tidak berhasil
Ya Tuhan jadikanlah
anakku
seorang yang berhati
suci, bercita-cita luhur
sanggup memerintah
dirinya sebelum memimpin orang lain
mengejar masa depan
tanpa melupakan masa lalu
Sesudah semuanya
membentuk dirinya
aku mohon ya Tuhan
Rahmatilah ia, dengan
rasa humor
sehingga serius tak
berlebihan
berilah kerendahan
hati, kesederhanaan dan kesabaran
Ini semua ya Tuhan
dari kekuatan dan
keagungan Mu itu
jika sudah demikian
Tuhanku
beranilah aku berkata:
“Tak sia-sia hidup
sebagai bapaknya”
Build me a son, O Lord, who will be
strong enough to know when he is weak, and brave enough to face himself when he
is afraid; one who will be proud and unbending in honest defeat, and humble and
gentle in victory.
Build me a son whose wishbone will
not be where his backbone should be; a son who will know Thee….Lead him, I
pray, not in the path of ease and comfort, but under the stress and spur of
difficulties and challenge. Here let him learn to stand up in the storm; here
let him learn compassion for those who fail.
Build me a son whose heart will be
clean, whose goal will be high; a son who will master himself before he seeks
to master other men; one who will learn to laugh, yet never forget how to weep;
one who will reach into the future, yet never forget the past.
And after all these things are his,
add, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious, yet
never take himself too seriously. Give him humility, so that he may always
remember the simplicity of greatness, the open mind of true wisdom, the
meekness of true strength.
Then I, his father, will dare to
whisper, “I have not lived in vain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar