Jumat, 26 Juni 2009

SERAGAM

Selasa, 23 Juni 2009 Saya membaca catatan Mira Lesmana di Kompas. Suatu ulasan yang menarik bagaimana cara orang memperlakukan seseorang berubah setelah seseorang itu mengenakan seragam. Saya jadi berpikir-pikir kenapa ya sehelai seragam atau sebuah identitas jabatan yang menyertai seragam tersebut bisa mempengaruhi orang lain memperlakukan kita? Dan kenapa ya kita juga menuntut orang lain untuk memperlakukan kita sesuai dengan seragam kita?

Sebagai pendeta, Saya juga menikmati cara orang memperlakukan Saya dengan penuh hormat. Jujur bicara Saya senang dan menikmati berbagai macam privilege yang Saya terima. Ketika akan berkhotbah di satu tempat Saya pasti mendapat tempat parkir yang terbaik, disambut bak pejabat penting, diantarkan ke tempat duduk yang empuk di barisan depan, diberi minum sementara jemaat lain ibadah selama dua jam dengan haus, selama khotbah menjadi pusat perhatian, sementara mungkin ada jemaat yang merasa kesepian dan tidak ada yang memperhatikan, selama ibadah tim doa pasti mendoakan Saya dengan menyebut nama Saya supaya pelayanan Saya hari itu dahsyat, sedangkan jemaat “hanya” didoakan secara korporat, di doa penutup kembali Saya didoakan secara khusus agar diri Saya, pelayanan dan keluarga diberkati, pulang ibadah disalami oleh jemaat dan diucapkan terima kasih, tidak lupa pengurus gereja akan memberikan “salam tempel.” Pasti cara mereka memperlakukan Saya akan berbeda seandainya Saya bukan siapa-siapa. Contoh lain ketika Saya berkunjung ke pusat perbelanjaan. Cuma satpam yang menyambut Saya, itupun untuk memeriksa mobil Saya seolah-olah Saya ini teroris, padahal Saya ke sana mau berbelanja dan pastinya menghabiskan uang. Tapi kok ya dicurigai. Sahabat Saya, seorang pemilik salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, jika datang ke pusat perbelanjaannya disambut dengan cara yang berbeda, parkirnyapun di tempat VIP, persis didepan gedung tersebut dan tidak usah pusing-pusing cari parkir.

Kita hidup disuatu zaman di mana orang-orang lebih suka dan lebih menghargai make up atau yang nampak di luar. Genuinitas sudah tidak lagi dihargai. Asal melihat seragam dan jabatan pasti semuanya langsung tunduk dan hormat. Makanya tidak heran banyak orang yang mengejar seragamnya, meski palsu. Bukankah sering kita baca di surat kabar, orang ditangkap polisi karena memakai seragam polisi atau tentara, padahal palsu. Seragamnya boleh beli di toko-toko perlengkapan tentara. Dan banyak yang tertipu, kenapa tertipu? Karena terpukau dengan seragam tanpa mengecek genuinitas atau keasliannya. Padahal seragam dan jabatan adalah sesuatu yang kosong tanpa disertai dengan gaya hidup dan tanggungjawab yang melahirkan wibawa, yang akhirnya membuat seseorang pantas memakai seragam dan menduduki jabatan tertentu.

Saya terus menerus mengecek diri Saya apakah Saya pantas menyandang gelar pendeta, apakah gaya hidup Saya adalah gaya hidup seorang hamba Tuhan? Apakah Saya layak menyandang gelar suami dan ayah bagi istri dan kedua orang anak Saya? Saya tidak bisa dan tidak boleh menyebut diri sendiri suami dan ayah yang baik, penghargaan itu harus keluar dari mulut istri dan anak-anak Saya, yang bersumber dari hati yang dipuaskan oleh peranan Saya sebagai suami dan ayah. Jika Saya gagal di rumah maka otomatis Saya gagal di luar. Suatu hari mentor Saya pernah berkata bahwa panggilan tertinggi buat kami-kami ini yang bergelar hamba Tuhan bukanlah berkhotbah dan laku diundang di mana-mana, melainkan menjadi suami dan ayah di rumah. Karena orang-orang rumahlah yang lebih tahu gaya hidup kami, hamba-hamba Tuhan. Mereka tahu apakah kami menghidupi khotbah kami atau tidak, mereka paham betul apakah kami mengkhotbahkan apa yang kami sudah lakukan atau baru akan melakukan apa yang telah kami khotbahkan.

Edward Mckendree Bounds (1835-1913), seorang pendeta Methodist dari Amerika berkata: “Bakat akan membawa kita ke puncak, tapi yang akan mempertahankan kita tetap berada di sana adalah karakter kita.”

Saya takut suatu hari kelak Saya akan diadili karena menjual seragam dan jabatan, tapi tidak disertai oleh gaya hidup yang memberkati orang lain. Saya ngeri membayangkan bahwa suatu hari nanti Tuhan menolak Saya karena menjadikan karunia dan talenta Saya sebagai jualan untuk membuat diri sendiri ternama dan beruang, tanpa disertai dengan niat tulus hanya mempermuliakan nama majikan dan junjungan Saya, Yesus Kristus. Dia harus makin bertambah, ku harus makin berkurang. Bahasa teologianya kenosis. Saya tidak mau menghalalkan segala cara hanya untuk menjadi pengkhotbah terkenal yang laris manis diundang khotbah di mana-mana. Lagipula apa sih tujuannya menjadi pengkhotbah terkenal? Saya takut saking sibuknya jadwal khotbah, Saya tidak punya waktu lagi bercengkerama dengan anak-anak Saya, tidak punya waktu lagi sekedar kongkow-kongkow dengan teman-teman komunitas. Ada hamba Tuhan yang besar karena iklan dan disupport oleh sumber dana yang banyak, namun dalamnya kosong. Saya mau menjadi besar karena memang ada sesuatu yang besar di dalam diri Saya, Saya tidak mau menjadi hamba Tuhan karbitan yang terkenal karena iklan namun tidak didukung oleh kualitas. Saya rindu orang diberkati mendengar khotbah Saya dan lebih diberkati lagi setelah mereka melihat hidup Saya.

Kamis, 11 Juni 2009

ANGELS AND DEMONS Part 2


Part 2: Atheis

Hal kedua yang menarik hati Saya dari film ANGELS AND DEMONS adalah fakta bahwa Robert Langdon (Tom Hanks) adalah seorang atheis. Tidaklah mengherankan jika penulis novelnya Dan Brown adalah juga seorang atheis. Usahanya di dalam menyerang ajaran gereja bahwa Yesus adalah Tuhan sangat kentara sekali di dalam novelnya yang lebih dahulu terkenal, malah lebih terkenal dari ANGELS AND DEMONS, yaitu, THE DA VINCI CODE.

Ada satu adegan di dalam ANGELS AND DEMONS yang menegaskan keatheisan Robert Langdon, yaitu ketika Kardinal Strauss (Armin Mueller-Stahl) bertanya kepadanya apakah dia (Langdon) percaya kepada Tuhan? Dengan tegas Langdon menjawab bahwa dia tidak menemukan adanya bukti tentang keberadaan Tuhan.

Ada beberapa hal yang dapat kita kritisi mengenai atheisme. Pertama, jika kita menyimak perdebatan antara kaum atheis dengan kaum theis (kelompok yang percaya adanya Tuhan, apapun agamanya), terutama yang berasal dari kalangan Kristen, maka kita menemukan bahwa semua keberatan dan keragu-raguan kaum atheis tentang keberadaan Tuhan sudah terjawab. Para apologet Kristen sudah menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kaum atheis tentang Ketuhanan, Kristus, kehidupan kerohanian dan masalah-masalah moral dan etika. Bahkan Sanggahan-sanggahan yang mematahkan kepercayaan atheis sudah berbuku-buku ditulis dan dicetak. Namun apa lagi yang kurang, sehingga seseorang terus menjadi seorang atheis. Well, seringkali orang menjadi atheis bukan karena kurangnya bukti tentang keberadaan Tuhan, namun semata-mata karena mereka memilih untuk menjadi atheis. Mereka mengesampingkan setiap bukti adanya Tuhan, setiap tesis, setiap teori, setiap pemikiran dan hanya memilih menjadi seorang atheis saja. Jika sudah demikian, bukti apalagi yang perlu diajukan?

Kedua, sebagai sebuah sistem pemikiran, atheis sudah gagal hanya dari namanya saja. Saya akan coba jelaskan. Apakah itu Tuhan? Tuhan adalah pribadi yang Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Dahsyat dan maha-maha yang lainnya. Sehingga kita boleh katakan bahwa Tuhan itu Serba Maha. Nah, atheis berasal dari dua kata: “a” yang berarti tidak (negatif) dan “theis” yang berarti Tuhan. Jadi secara singkat atheis adalah tidak ada Tuhan. Jika ditambahkan kata “isme” dibelakangnya maka atheisme berarti suatu ajaran atau pemahaman yang menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Di sini masalahnya, ketika seorang atheis mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, berarti dia harus menjadi suatu pribadi yang MAHA TAHU, MAHA KUASA, MAHA DAHSYAT, yang justru keberadaannya sedang ia sangkali????!!!! Karena bagaimana mungkin dia bisa mengatakan bahwa TIDAK ADA pribadi yang MAHA TAHU, MAHA KUASA DAN MAHA DAHSYAT, jika dia kurang atau tidak MAHA TAHU, MAHA KUASA DAN MAHA DAHSYAT?! Singkatnya untuk seseorang mengatakan bahwa di seluruh alam semesta ini tidak ada Tuhan, maka seseorang itu harus menjadi Tuhan. Untuk mengatakan bahwa tidak ada satu pribadi super yang tak terbatas, seseorang harus menjadi tak terbatas. Ketika Saya mengatakan bahwa di alam semesta ini TIDAK ADA BATU BERWARNA PUTIH DAN BERLOBANG-LOBANG EMPAT PERSEGI PANJANG, berarti Saya sudah pergi ke seluruh dunia, bahkan mengunjungi seluruh tata surya dan telah melihat dan meneliti semua batu dan tidak menemukan seperti klaim Saya di atas.

Apakah seorang atheis sudah cukup maha tahu untuk bisa membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada? Ataukah dengan segala keterbatasannya dia menilai sesuatu yang tak terbatas yang jauh melampaui akal pikirannya dan dengan gagah beraninya menyatakan bahwa yang tak terbatas itu sesungguhnya tak ada? Dari namanya saja, atheis sudah ada pertentangan arti dan makna. Dalam tataran filosofis atheisme sudah gagal. Saya tidak tahu apakah Dan Brown sudah berpikir sejauh ini untuk menyatakan dirinya sebagai atheis. Ataukah dia cuma seorang pedagang ulung nan cerdik yang menjual kontroversi sejarah gereja dan mitos yang mengikutinya kemudian meramunya dalam sebuah novel? Kemudian dengan sedikit publisitas laku dijual, yang hasilnya mampu membuatnya menjadi seorang multijutawan karena novelnya laris manis di pasaran bahkan dibeli dengan mahal oleh Hollywood untuk kemudian difilmkan.

Ketiga, atheisme tidak punya hukum moral. Hanya Tuhan yang melahirkan hukum moral. Ketika orang mencari dasar etika moral dia harus berpaling kepada agama. Pada suatu hari (1948) di acara debat di radio BBC antara Frederick Copleston dan Bertrand Russell, seorang atheis terkenal yang telah menulis sebuah buku “WHY I AM NOT A CHRISTIAN.” Coplestone bertanya kepada Russell: “Bagaimana Anda membedakan antara yang jahat dan baik?” Russell menjawab: “Sebagaimana Saya membedakan antara warna biru dan merah.” Lalu Copplestone menambahkan: “Anda membedakan antara biru dan merah dengan melihat kan?” Lalu Russell menjawab: “Saya membedakan antara yang baik dan jahat berdasarkan perasaan Saya, apa lagi?” Wow, sebuah jawaban dari seorang atheis terkenal yang sangat tidak bertanggung jawab. Well, Mr. Russel dibeberapa bagian dunia kita mengasihi tetangga kita, namun dibeberapa bagian dunia lain kita memakan tetangga kita, kira-kira perasaan anda mengikuti yang mana?
Jika perilaku moral kita dilandaskan atas perasaan, akan jadi apa dunia ini. Pada banyak kasus peristiwa pembunuhan, pemerkosaan dan tindakan kejahatan lainnya, para pelaku melakukan aksinya karena mereka tidak bisa mengendalikan perasaan mereka. Lalu dapatkah kita membebaskan seorang pembunuh yang telah menghabisi dan memperkosa seorang gadis berusia 15 tahun hanya karena dia sedang emosi ketika melakukannya? Jika kita menilai kebaikan dan kejahatan berdasarkan emosi kita, maka tidak ada hukum absolut yang dapat mengatur perilaku hidup manusia. Kita tidak bisa melarang seseorang melakukan sesuatu yang jahat, hanya karena itu bertentangan dengan perasaan kita! Karena kejahatan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan perasaan pelakunya. Dunia seperti inikah yang diimpikan oleh Bertrand Russell dan kaum atheis lainnya? Kita bisa merampok seluruh harta Dan Brown dan dia tidak boleh marah dan melarang kita, karena hal tersebut tidak bertentangan dengan perasaan kita.

Tahukan Anda bahwa ada lebih banyak orang dibunuh atas nama atheisme daripada atas nama Tuhan! Lenin dan Stalin telah membantai sedikitnya 30 juta orang Rusia. Stalin menyerahkan sebuah copy buku Das Kapital karya Karl Marx kepada Adolph Hitler yang mengispirasinya untuk membantai 6 juta orang Yahudi! Sebaliknya Tuhan memberikan kepada kita hukum moral yang absolut yang berlaku disepanjang segala zaman dan tetap up to date hingga kini. Ketika seorang atheis menuntut keadilan berdasarkan hukum moral, sebenarnya tanpa sadar dia percaya kepada sang pemberi hukum, yaitu Tuhan Allah semesta alam.

Keempat, ini yang paling memiriskan hati Saya dan membuat Saya terus menerus bertobat. Seringkali kita orang-orang percaya namun berperilaku seolah-olah Tuhan tidak ada. Kita menjadi atheis-atheis praktis. Kita percaya pada Tuhan, namun dalam praktek hidup sehari-hari kita berperilaku seolah-olah Tuhan tidak ada. Kita berbuat dosa seakan-akan tidak ada Tuhan. Kita menggantungkan hidup kita kepada kekuatan sendiri seolah-olah Tuhan tidak ada atau kalaupun ada namun tidak mampu menolong kita. Kita lebih percaya naluri kita, kita lebih mempercayai kata-kata seorang peramal atau ramalan bintang daripada percaya kepada Tuhan yang menciptakan bintang di langit. Menurut Saya ini yang paling menyakitkan Tuhan: minimal seorang atheis berterus terang bahwa mereka tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, tapi kita? Kita percaya Tuhan ada, namun meragukan dan mengacuhkan-Nya dalam hidup sehari-hari. Menurut Saya dibandingkan dengan atheisme, apa yang kebanyakan kita lakukan lebih menghina Tuhan. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika keberadaan kita diacuhkan bahkan ditolak. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah perasaan bahwa dia diterima oleh masyarakat disekitar kita. Ketika kita ditolak, maka penolakan itu akan mendatangkan sakit hati dan kekecewaan yang mendalam. Bahkan dapat mengganggu jiwa seseorang. Bayangkan kita melakukan hal yang sama terhadap Tuhan setiap hari ketika kita mengacuhkan-Nya dan menyepelekan kuasa dan kasih-Nya.

Selasa, 09 Juni 2009

ANGELS AND DEMONS

Part 1: Fanatisme Buta


Hari Minggu (24 Mei 2009) Saya berkesempatan untuk menonton film Angels And Demons, yang disutradarai oleh sutradara kelas Oscar, Ron Howard. Film ini bercerita tentang Robert Langdon (Tom Hanks) seorang simbolog dari Harvard University, yang diminta bantuan oleh polisi Vatican untuk mengungkapkan penculikan 3 orang Kardinal yang sedianya datang untuk meeting membicarakan siapa Paus berikutnya untuk menggantikan Paus yang meninggal. Dari sinilah cerita bergulir. Robert Langdon mengubek-ubek kota Vatican untuk menemukan ketiga Kardinal tersebut. Di dalam film ini juga diceritakan bahwa Paus terdahulu meninggal karena diracun oleh sekretarisnya, yang juga adalah anak angkatnya sendiri, Camerlengo Patrick Mckenna yang diperankan sangat bagus oleh Ewan McGregor. Nah, pada tulisan pertama ini Saya akan menyoroti hal ini.

Camerlengo diadopsi dan dibesarkan oleh Paus sebagai anaknya sendiri dan dididik untuk melindungi gereja Katolik dari ancaman baik dari luar gereja maupun dari dalam gereja. Nah, ketika Paus mensponsori sebuah penelitian tentang antimateri yang oleh para ilmuwan dipercaya sebagai asal mula kehidupan, sementara gereja mengajarkan bahwa sumber kehidupan adalah Tuhan. Semua yang ada diciptakan dari ketiadaan/kenihilan (CREATIO EX NIHILO). Mengapa Paus mau mensponsori penelitian ini? Paus beranggapan iman Kristen dan ilmu pengetahuan bisa berdiri berdampingan. Ilmu pengetahuan bukanlah musuh gereja. Ilmu pengetahuan justru dapat memperkuat iman Kristen. Arthur F. Holmes, seorang filsuf Kristen mengatakan di dalam bukunya ALL TRUTH IS GOD’S TRUTH, bahwa segala kebenaran itu, di manapun dan kapanpun diketemukan adalah merupakan kebenaran Tuhan. Karena bukankah Tuhan yang menciptakan segala sesuatu?

Camerlengo berpendapat sebaliknya. Dia menilai apa yang paus lakukan dapat menghancurkan gereja katolik. Otomatis dia juga berpendapat bahwa Paus menjadi ancaman bagi gereja Katolik. Oleh karena itu harus dilenyapkan. Maka Camerlengo meracuni Paus.
Demikianlah secara singkat dan sederhana cerita film ini. Saya jadi berpikir betapa kefanatikan tanpa rasio bisa sangat berbahaya. Kefanatikan buta membuat seseorang berubah dari pemeluk agama yang baik menjadi seorang pembunuh kejam. Yang melakukan kekejamannya atas nama Tuhan???!!!! Kefanatikan buta tanpa rasio menghasilkan perang salib, inkuisisi (pembantaian yang dilakukan gereja atas nama Tuhan terhadap sekelompok atau seseorang yang dituduh murtad atau tukang sihir), bom bunuh diri, ethnic cleansing dan masih banyak lagi kekejaman lainnya.

Kefanatikan tidaklah ditujukan kepada Tuhan. Karena bagaimana mungkin Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, yang kesabaran-Nya lebih panjang daripada amarah-Nya mengijinkan seseorang untuk mencabut nyawa orang lain atas alasan apapun? Bagaimana Tuhan yang semasa hidup di dunia ini dikenal sebagai sahabat orang berdosa, pelacur dan pemungut cukai, tega memerintahkan sesama manusia (yang juga orang berdosa) untuk menghabisi sesama manusia. Bukankah tulah dan hukuman dari langit berhenti ketika Tuhan Yesus lahir ke dunia? Semua amarah kekudusan terhadap dosa sudah ditimpakan kepada Kristus di Golgotha? Semua tuntutan agama atas penghukuman bagi orang berdosa sudah dibayar lunas oleh Tuhan Yesus?

Tuhan dari kefanatikan buta adalah agama dan golongan. Seseorang menjadi musuh ketika dia tidak sependapat dengan golongan atau agama kita. Kita mencapnya murtad, ketika seseorang pindah golongan atau agama. Seorang fanatik buta merasa dirinya adalah pembela sekaligus algojo Tuhan dengan mandat penuh dari langit untuk menghabisi seseorang yang berbeda dengan golongannya. Seorang fanatik buta adalah seseorang yang selalu berada di dalam kotak. Dia tidak pernah melihat dunia dari sudut pandang lain. Baginya kelompoknyalah yang paling benar, gerejanyalah yang paling benar, tafsiran kelompoknyalah yang paling benar. Bahkan dalam beberapa kelompok, adalah tabu bagi para pengikut untuk membaca buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok lain.

Dari sudut pandang ini maka tidaklah mengherankan jika Camerlengo membunuh Paus yang sudah membesarkannya seperti anaknya sendiri. Yang menarik dari peran Camerlengo ini adalah bagaimana Ewan McGregor mampu memerankan seorang pembunuh dengan wajah dan sikap yang tetap naif, polos dan baik hati. Camerlengo bukanlah seorang jahat seperti Ted Bundy (pembunuh berantai dari Amerika) atau peran Hannibal Lecter (Anthony Hopkins) dalam film “The Silence Of The Lambs” dan beberapa sequelnya. Camerlengo adalah seorang pembela gereja. Cintanya kepada gereja melebihi cintanya kepada ayah adopsinya (Paus) bahkan daripada ajaran Kristus sendiri yang melarang membunuh. Camerlengo membela gereja yang dia cintai dengan segenap hatinya bahkan dia rela mengorbankan nyawanya bagi gereja. Dan dia beranggapan bahwa dia melakukannya bagi Tuhan. Namun di sinilah problemnya. Fanatisme buta mengalahkan rasio dan akal sehat. Padahal beragama haruslah dengan akal sehat. Iman dan rasio tidak bisa dipisahkan. Rasio bukanlah musuh iman demikian pula sebaliknya, keduanya harus berjalan berdampingan.

Tanpa sadar kita sering berperilaku seperti Camerlengo dengan takaran yang lebih ringan. Pernah suatu kali seorang pekerja bahkan salah seorang pemimpin dari satu gereja, di satu kota, bercerita kepada Saya. Bagaimana dia dicap pengkhianat, dijauhi dan ‘dimusuhi’ oleh rekan-rekannya sesama pekerja dan pemimpin gereja, bahkan oleh anak-anak rohaninya sendiri yang nota bene bertobat karena pelayanannya, semua hanya karena dia pindah gereja???!!! Sahabat Saya ini karena sesuatu dan lain hal memutuskan untuk keluar dari gereja dan melayani di tempat lain, oleh karena itu dia dijauhi bahkan dimusuhi. Bayangkan, sahabat Saya ini dikasihi dan dihormati karena dia satu gereja dan satu pelayanan, tetapi ketika dia pindah gereja maka kasih dan hormat berhenti berganti dengan kebencian. Bukankah mirip dengan Camerlengo? Saya bayangkan bagaimana seandainya sahabat Saya ini pindah agama? Wong, pindah gereja saja sudah dibegitukan, apalagi pindah agama dan pastinya pindah juru selamat?!

Berapa banyak dari kita yang memusuhi, menjauhi dan meng eks-komunikasikan (ex comunio) teman kita hanya karena dia pindah beribadah di gereja lain atau sinode lain? Suatu hari ada seorang bapak bertanya kepada Saya, apa yang harus dia lakukan terhadap adiknya yang mau menikah dan pindah agama. Saya katakan: “Tetap kasihi adikmu!” “Jangan kasihi adikmu hanya karena dia satu agama, justru pada saat-saat seperti inilah, adikmu lebih memerlukan kasih Kristus yang terpancar dari dalam dirimu melalui bagaimana kamu memperlakukan dia.” Jika Kristus hanya mengasihi orang-orang Kristen saja maka kita semua tidak ada yang selamat. Karena semua kita tidak ada yang beragama Kristen sebelumnya. Baru setelah kita percaya bahwa Yesus itu Tuhan, kita disebut beragama Kristen. Kalau Kristus saja mengasihi orang berdosa dan mencari domba yang hilang, apalagi kita. Perhatikan terminologi yang digunakan adalah domba (BUKAN kambing). Nah, adik bapak tadi adalah domba yang hilang. Kristus meninggalkan yang 99 ekor lainnya untuk mencari 1 domba yang hilang. Mari kita berperilaku seperti Kristus.