Jumat, 29 Agustus 2025

SIAPA YANG MENJAMAH AKU

"Siapa yang menjamah Aku?"

Ujar-Nya sambil memandang penuh selidik ke belakang.

Perempuan itu sangat ketakutan. 

Karena sebagai seorang dengan sakit pendarahan dianggap najis menurut hukum Taurat.

Imamat 15:19, 25 
19. Apabila seorang perempuan mengeluarkan lelehan, dan lelehannya itu adalah darah dari auratnya, ia harus tujuh hari lamanya dalam cemar kainnya, dan setiap orang yang kena kepadanya, menjadi najis sampai matahari terbenam. 

25. Apabila seorang perempuan berhari-hari lamanya mengeluarkan lelehan, yakni lelehan darah yang bukan pada waktu cemar kainnya, atau apabila ia mengeluarkan lelehan lebih lama dari waktu cemar kainnya, maka selama lelehannya yang najis itu perempuan itu adalah seperti pada hari-hari cemar kainnya, yakni ia najis.

Maka apapun yang disentuhnya akan menjadi najis, bahkan walaupun itu sebuah barang yang telah disentuhnya kemudian disentuh oleh orang lain, maka orang lain itu akan dianggap najis juga. 

Najis secara ritual atau seremonial.

Darah adalah lambang kehidupan (Imamat 17:11). Kehilangan darah sama dengan hilangnya hidup, itu artinya simbol kerusakan, kematian, dan ketidaksempurnaan.

Karena itu, seseorang yang terus-menerus mengeluarkan darah tidak dapat mengikuti ibadah di Bait Allah. Ia terisolasi dari komunitas keagamaan dan sosial.

Jadi, dengan menyentuh Yesus si perempuan telah menyebabkan Yesus menjadi najis.

Tidak heran dia menjadi sangat ketakutan karena perbuatannya yang dilakukan secara diam-diam diketahui oleh Yesus.

Namun, apa oleh buat si perempuan terpaksa melakukannya karena sudah putus asa.

Semua tabib telah didatanginya, hartanya habis, bukannya bertambah baik malah semakin parah (Markus 5:26).

Karena keadaannya dia tidak dapat menikah, kalaupun telah menikah dia terpaksa berpisah dari suaminya.

Sebagai umat Allah dia tidak dapat beribadah.

Hingga suatu hari dia mendengar berita-berita tentang Yesus (Markus 5:27), timbullah pengharapan di hatinya. 

Perempuan ini merasa harus berjumpa dengan Yesus, harus!

Keputusasaanya tanpa sadar telah menciptakan iman yang nekat di dalam hatinya..

Dia nekat menjamah jumbai jubah Yesus (Lukas 8:44).

Dan dia sembuh! 

Menurut KBBI jumbai berasal dari kata rumbai yang memiliki arti benda yang berjuntai seperti benang, rambut yang sama panjang dan diikat di ujungnya.

Jumbai diterjemahkan dari bahasa Yunani kraspedon, atau dalam bahasa Ibrani tzitzit.

Adalah perintah Tuhan di dalam Bilangan 15:38-39 dan Ulangan 22:12 agar orang Israel membuat jumbai-jumbai pada jubah mereka agar mereka senantiasa teringat kepada Tuhan dan hukum-hukum-Nya (Taurat).

Bagi orang Yahudi abad pertama, tzitzit adalah simbol kesetiaan kepada Taurat dan tanda identitas umat Allah.

Si perempuan yang sakit pendarahan itu tidak berani mendekat langsung ke tubuh Yesus (karena menurut Imamat 15, ia dianggap najis), sehingga ia memilih menjamah bagian yang secara simbolis paling suci dan penuh otoritas: ujung jubah-Nya, yaitu tzitzit.

Tindakan si perempuan menyentuh jumbai jubah Yesus menyiratkan sebuah tindakan iman, antara kain:

1. Iman akan kuasa Mesias
Orang Yahudi percaya bahwa Mesias akan datang membawa kesembuhan. 

Bahkan ada tradisi penafsiran dari Maleakhi 4:2
"Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang." 

Oleh sebagian rabi dipahami bahwa kuasa kesembuhan ada pada “ujung jubah-Nya” (sayap = kanaph, yang juga berarti sudut pakaian tempat tzitzit digantung).

Jadi, si perempuan telah menggenapkan nubuatan dalam Maleakhi.

2. Tindakan Iman
Dengan menyentuh tzitzit Yesus, perempuan itu sedang menyatakan keyakinan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan, dan kuasa penyembuhan-Nya nyata bahkan pada simbol Taurat yang Ia kenakan.

3. Yesus sebagai penggenap Taurat
Momen itu memperlihatkan bahwa Yesus bukan hanya seorang rabi Yahudi biasa yang menaati Taurat, tetapi Dialah penggenapan hukum Taurat—bahkan tanda pengingat Taurat (tzitzit) itu menjadi saluran kuasa Allah bagi orang yang percaya.

Kembali kepada peristiwa sesaat setelah si perempuan menjamah jumbai jubah-Nya, Yesus segera berpaling dan bertanya:

"Siapa yang menjamah Aku?"

Karena tidak ada yang mengaku Petrus segera menjawab:

"Guru, orang banyak mengerumuni dan mendesak Engkau." Lukas 8:45

Sebuah pernyataan yang logis, namun Yesus merasakan hal yang berbeda, ini sentuhan berbeda, bukan karena kerumunan. 

"Ada seorang yang menjamah Aku, sebab Aku merasa ada kuasa keluar dari diri-Ku." Lukas 8:46

Banyak orang berdesak-desakan dan menyentuh Yesus pada saat itu (Luk. 8:42).

Namun hanya satu sentuhan yang berbeda: sentuhan perempuan pendarahan itu.

Sentuhan orang banyak hanya secara fisik, tanpa iman, sementara sentuhan si perempuan lahir dari iman yang hidup, penuh pengharapan kepada kuasa Mesias yang secara otomatis
menghubungkan dirinya dengan kuasa Yesus.

Yesus tidak kehilangan kuasa secara pasif, melainkan kuasa itu mengalir dengan sengaja karena iman membuka jalan.

Kuasa Yesus bukan sihir atau otomatis bekerja melalui benda (seperti jubah), tetapi iman si perempuan menjadi saluran manifestasi kuasa Allah.

Perempuan itu awalnya hanya ingin sembunyi-sembunyi menjamah, seakan-akan mencari kesembuhan secara “diam-diam”.

Tetapi Yesus tidak membiarkan hal itu berhenti di kesembuhan fisik. 

Ia bertanya, “Siapa yang menjamah Aku?” untuk membawa perempuan itu kepada relasi pribadi dengan-Nya.

Ia ingin menunjukkan bahwa kesembuhan bukan hasil “kontak ajaib” dengan jubah, melainkan karena perjumpaan pribadi dengan Kristus melalui iman.

Lebih ajaib lagi kesembuhan ini  bukan hanya fisik, tetapi juga sosial dan rohani.

Dengan bersaksi di depan umum, perempuan itu dipulihkan statusnya di tengah masyarakat (tidak lagi najis).

Yesus kemudian mendeklarasikan:

"Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!” (Luk. 8:48)

Kata “menyelamatkan” (sōzō) tidak hanya berarti “menyembuhkan”, tapi juga “menyelamatkan” secara penuh.

Jadi, si perempuan bukan hanya sembuh secara fisik namun juga tahir secara sosial kemasyarakatan Yudaisme.

Dari harapan disembuhkan secara diam-diam menjadi sebuah perjumpaan ilahi yang mengubahkan kehidupan si perempuan.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Rabu, 06 Agustus 2025

LIMAPULUH

Menginjak usia lima puluh tahun ini kira-kira saya belajar apa ya?

Di pijakan bumi yang Tuhan pinjamkan, dengan segala atribut yang dititipkan-Nya, melalui waktu yang dipiutangkan-Nya kepada saya, apa yang saya telah pelajari?

Merenung!

Kontemplasi!

Introspeksi!

Refleksi!

Pertama-tama saya belajar, 
Ada hal-hal yang saya takutkan bakal terjadi ternyata tidak terjadi.

Saya besar dengan perasaan minder luar biasa karena lahir di keluarga miskin. 

Merasa tidak pandai dan piawai dalam segala hal. Tidak memiliki talenta apapun, setidaknya itulah anggapan saya dulu. 

Saya takut dengan masa depan, selalu gelisah karena merasa tak pasti akan hari esok.

Kontras dengan pencapaian saya hari ini.

Dapat menikahi perempuan tercantik di gereja

Bersamanya hampir 25 tahun dengan dua orang anak luar biasa yang beranjak dewasa. 

Menjadi gembala jemaat sebuah gereja lokal dengan jemaat yang luar biasa. 

Menjadi seorang pembicara yang pelayanannya telah merambah beberapa kota baik di Indonesia maupun luar negeri. 

Terpilih menjadi ketua sinode kala usia saya baru 43 tahun. 

Saya segera akan menyelesaikan pendidikan doktoral.

Dan masih banyak lagi pencapaian di masa depan. 

Exited menjalaninya.

Ini merupakan perjalanan bersama sahabat lama saya, Tuhan Yesus Kristus.

Dia menuntun hidup saya langkah demi langkah.

Kadang takut, lelah, khawatir mengikuti instruksi-Nya, namun saya tetap setia dan tidak pernah mundur.

Ini merupakan sebuah perjalanan iman!

Kedua, sekaligus saya juga diajari,
 
Ada juga hal-hal yang saya khawatirkan benaran terjadi.

Namun, ternyata semuanya mendidik dan membentuk karakter saya.

Jadi yaaah... Tidak terlalu buruklah.

Masih banyak tahun yang perlu saya jalani dengan tenang dan santai, karena berjalan bersama-Nya. 

Moto hidup saya adalah menjadi manusia pembelajar dalam kurun waktu terjatah agar kelak layak menghadap Sang Khalik. 

Saya masih seorang pelajar dari sekolah kehidupan yang dikepalasekolahi oleh Kristus sendiri, saya masih under construction, belum selesai dibentuk dan dibangunnya. 

Kala sedang ujian nikmatilah, seseram apapun itu nampaknya, setakut apapun rasanya, sekuatir apapun bentuknya jalani saja, jangan mundur apalagi berhenti lantas melarikan diri. 

Jangan ya dek, jangan! 

Karena itu akan membentuk karaktermu, menjadikanmu baru. 

Melaluinya Tuhan sedang meng-upload software baru ke dalam kesadaranmu, di dalam jiwamu, yang akan mengubahmu dari dalam keluar. 

Ketiga, saya belajar makna dari frasa this too will pass. 

Ya, semua pergumulan akan berlalu, kesusahan yang dialami hari ini akan menjadi sejarah. 

Nah, apakah akan menjadi sejarah manis yang layak dikenang dan diceritakan atau menjadi sebuah bentuk kekalahan memalukan yang menjadi aib dan penyesalan seumur hidup, tergantung cara kita meresponi tantangan yang ada. 

Tetap percaya dan bertahan atau melarikan diri? 

Bagi Saul, Goliat menjadi momok penyesalan seumur hidup, namun buat Daud, Goliat menjadi batu pijakan menuju takhta Israel. 

This too will pass, berlaku juga bagi kesuksesan.

Semua puja dan puji akan segera selesai, kemudian dilupakan orang. 

Semua bentuk keberhasilan akan berlalu, jangan bertahan di dalamnya, maju terus buat keberhasilan lainnya. 

Keempat, jangan membalas dendam. 

Ampuni saja. 

Orang yang memakimu sebenarnya sedang marah dengan dirinya sendiri. Kamu hanyalah pelampiasan dari kekecewaannya terhadap dirinya sendiri. 

Sekumpulan orang yang membicarakanmu dengan negatif hanyalah penonton di pinggir lapangan. 

Mereka tidak paham perjuanganmu. 

Tidak mengerti kesusahanmu. 

Tidak secara komprehensif memahami panggilan dan pergumulanmu. 

Bahkan sebagiab tidak ikut berjuang bersamamu. Hanya membeo saja. 

Rendah hatilah. 

Hanya orang rendah hati yang mampu mengampuni. 

Jangan terpengaruh omongan mereka. 

Cuek bebeklah dalam memegang teguh prinsip kebenaran, teruslah melangkah sesuai panggilan-Nya bagimu. 

Waktu akan berbicara. 

Tuhan akan membela. 

Jalan keredahhatian adalah jalan mulia yang tidak semua orang mau dan mampu menjalaninya, namun ini adalah jalan terbaik. 

Masih banyak lagi yang saya pelajari, namun akan terlalu panjang untuk dituliskan.

Mungkin nanti, esok atau lusa akan saya sambung. 

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Minggu, 08 Desember 2024

DIPAKAI TUHAN (Bagian Ketiga)

1 Samuel 17:38-39
38. Lalu Saul mengenakan baju perangnya kepada Daud, ditaruhnya ketopong tembaga di kepalanya dan dikenakannya baju zirah kepadanya.
39. Lalu Daud mengikatkan pedangnya di luar baju perangnya, kemudian ia berikhtiar berjalan, sebab belum pernah dicobanya. Maka berkatalah Daud kepada Saul: "Aku tidak dapat berjalan dengan memakai ini, sebab belum pernah aku mencobanya." Kemudian ia menanggalkannya. 

Ketika menghadap Saul berkenaan dengan tantangan Goliat dan menyampaikan maksudnya untuk melawannya, maka Saul mengenakan pakaian perang yang biasa dikenakan ketika seorang prajurit maju berperang.

Ketika Daud mencoba untuk berjalan dia kesulitan.

Maka Daud menanggalkan semuanya, memakai pakaiannya, meninggalkan pedang juga, mengambil batu dan sisa kisahnya kita tahu, bagaimana Daud mengalahkan Goliat dengan umban bukan dengan pakaian perang sebagaimana biasanya orang berperang.

Saul adalah gambaran lama, cara lama, metode lama yang secara naluri mencoba memaksakannya kepada Daud yang adalah generasi baru.

Goliat adalah sebuah tantangan baru yang tidak bisa dihadapi dengan metode lama.

Metode Daud lebih cocok meski out of the box.

Saul terlambat menyadari bahwa era baru sudah datang, era yang menurutnya agak nyeleneh, namun terbukti cespleng.

Jangan juga meremehkan metode lama, cara-cara lama, nilai-nilai lama, kita dapat belajar darinya, walau bagaimanapun mereka telah berjasa meletakkan pondasi kuat di mana kita berjejak hari ini.

Namun, sekarang adalah waktumu, eramu, saatmu.

Kembangkanlah itu, jangan ikuti yang lama, terpenjara oleh aturan lama, belajar darinya, ikuti Tuhan bukan ikuti cara lama.

Tuhan memiliki hal-hal baru untuk diberikan, hal-hal yang cocok untuk generasimu.

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Sabtu, 07 Desember 2024

DIPAKAI TUHAN (Bagian Kedua)

1 Samuel 16:7, 12 
7. Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." 
12. Kemudian disuruhnyalah menjemput dia. Ia kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok. Lalu TUHAN berfirman: "Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia." 

Daud tidak memiliki tampang untuk menjadi raja, setidaknya demikianlah anggapan Samuel, namun Tuhan memilihnya. 

1 Samuel 13:14 
Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu."  

Frasa 'seorang yang berkenan di hati-Nya' dalam Alkitab bahasa Inggrisnya adalah "a man after his own heart" yang berarti adalah sebuah idiom yang merujuk pada seseorang yang memiliki nilai, minat, atau keyakinan yang serupa dengan orang lain.

Idiom ini mengisyaratkan adanya hubungan yang erat dan pemahaman mendalam antara kedua individu tersebut, dalam konteks ini adalah Daud dan Tuhan. 

Mungkin karena Daud seorang penyembah sehingga beliau memiliki kualifikasi demikian. 

Seorang penyembah akan menghabiskan banyak waktu bersama Tuhan, disinilah proses membangun hubungan yang kuat terjalin, ketika inilah proses memiliki hati Tuhan terbentuk di dalam diri Daud. 

Semua itu adanya di dalam hati. 

Tuhan melihat hati. 

Tuhan melihat potensi.

Akan jadi apa kita ditangan-Nya.

Apakah kita berpotensi tahan godaan? 

Apakah kita memiliki kerendahan hati untuk selalu berpaling kepada-Nya dalam segala situasi dan kondisi? 

Apakah kita tahan dalam proses-Nya? 

Tidak masalah jika belum mampu, usah juga khawatir jika belum bisa, jangan kecil hati jika belum mumpuni. 

Segala kemampuan toh Dia yang beri. 

Jadilah bejana yang selalu siap dipakai-Nya. 

Tuhan akan memperlengkapi dengan karunia yang diperlukan, mendukung dengan situasi dan kondisi - yang seringkali tidak baik - yang akan membentuk kita, mengirimkan orang-orang yang mendukung maupun berpura-pura baik.

Semuanya dilakukan-Nya untuk mempersiapkan kita bagi tugas pelayanan yang Dia embankan kepada kita.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Jumat, 06 Desember 2024

DIPAKAI TUHAN (Bagian Pertama)

1 Samuel 16:6
Ketika mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: "Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya." 

Kata 'sungguh' di ayat 6 berasal dari bahasa Ibrani 'ak yang menurut Strong merupakan partikel penegasan, benar-benar, sesungguhnya. 

Jadi, Samuel hakul yakin Eliab orang yang dipilih Tuhan menggantikan Saul. 

Darimana Samuel berpikir demikian?

Pola.

1 Samuel 9:2
Orang ini ada anaknya laki-laki, namanya Saul, seorang muda yang elok rupanya; tidak ada seorang pun dari antara orang Israel yang lebih elok dari padanya: dari bahu ke atas ia lebih tinggi dari pada setiap orang sebangsanya. 

1 Samuel 10:23
Berlarilah orang ke sana dan mengambilnya dari sana, dan ketika ia berdiri di tengah-tengah orang-orang sebangsanya, ternyata ia dari bahu ke atas lebih tinggi dari pada setiap orang sebangsanya.

Sebuah pola yang telah terbangun di dalam diri Samuel bahwa seorang yang berperawakan elok dan tinggi besar pastilah seorang raja.

Menurut KBBI 'pola' bermakna sistem atau cara kerja.

Padanannya dalam bahasa Inggris adalah 'pattern' yang menurut Merriam-Webster bermakna  a form or model proposed for imitation (bentuk atau model yang diusulkan untuk ditiru). 

Jadi, karena pertama Allah telah memilih Saul seseorang berperawakan elok dan tinggi besar maka Samuel berpikir kali inipun Tuhan akan melakukan hal yang sama. 

Di sinilah Samuel salah.

Tuhan mengingatkan Samuel di ayat 7
Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."

Tuhan tidak pernah bekerja dengan cara yang sama dua kali. 

Hanya karena Tuhan pernah bekerja dengan cara itu bukan berarti Dia selalu memakai cara tersebut. 

Jangan terlalu terbebani oleh masa lalu. 

Kita bisa belajar dari masa lalu, belajar dari berbagai kesalahan dan kemajuan yang telah dicapai, namun jangan terjebak oleh polanya, bahwa mesti wajib harus seperti itu.

Tidak mesti demikian. 

Pasti ada sentuhan yang berbeda, ada modifikasi bahkan mungkin rombak total. 

Tuhan bekerja dengan cara-cara yang berbeda pada setiap generasi dengan orang-orang yang berbeda pula. 

Temukan kehendak-Nya buat diri dan generasi kita, bergeraklah sesuai pola-Nya. 

#KiraKiraBegitu 

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Kamis, 19 Desember 2013

Selasa, 31 Juli 2012

Bapa, Pegang Tanganku……


Sering kita berdoa: “Bapa, pegang tanganku dan jangan lepaskan, ku tak dapat jalan sendiri”
Tapi tahukah Anda bahwa pegangan tangan Bapa, adalah sebuah genggaman yang penuh kasih dan bukan sesuatu yang menyakitkan, supaya kita dapat berjalan beriringan bersama Dia, dan bukannya malah menyeret kita sepanjang jalan.
Namun, sebagaimana sebuah genggaman tangan penuh kasih, tangan lainnya dapat dengan mudah melepaskan diri, dan ini seringkali kita lakukan manakala pesona dunia atau sebuah kekhawatiran bahkan ketakutan membuat kita merasa bahwa genggaman tangan ini membatasi gerak langkah kehidupan atau kita merasa genggaman tangan ini terlalu lemah sehingga tidak dapat diandalkan, dengan mudahnya kita melepaskan diri lalu berpegangan dengan genggaman lain yang kita anggap lebih bebas atau lebih mampu melindungi kita.

Atau sebagian kita berdoa: “Bapa, lindungi aku dalam naungan-Mu”
Bapa berkata bahwa Dia melindungi kita seperti melindungi biji mata-Nya sendiri. Memang, Bapa membangun sebuah perlindungan yang kokoh, yang musuh tidak dapat menerobosnya dari luar. Namun, ini bukanlah sebuah penjara, sehingga kita dapat keluar kapanpun kita suka. Dan perlindungan yang Bapa bangun tidaklah sound proof. Sehingga, musuh masih dapat mengirimkan suara-suara dari mulai rayuan yang menggoda sampai yang mengintimidasi, sehingga membuat kita berpikir bahwa naungan-Nya adalah sebuah penjara yang menghimpit dan membelenggu, bahkan sangat lemah sehingga kita mulai meragukan kebaikkan, karakter bahkan kuasa Bapa. Kita merasa dunia di luar lebih memuaskan. Maka perlahan namun pasti kita berjalan meninggalkan tempat naungan kita.

Seseorang mungkin beragumentasi: “Lalu, jika demikian. Bukankah Seharusnya Bapa memegang tangan kita lebih erat atau dia menempatkan penjaga yang melarang kita keluar!”
Satu hal yang kita perlu tahu tentang Bapa adalah bahwa Dia bukanlah seorang tirani pemaksa. Bapa adalah seorang pecinta sejati, yang telah membuktikannya dengan menyerahkan nyawa-Nya sendiri bagi manusia yang Dia cintai. Bapa menuntut cinta dan ketaatan dari kita.
Cinta sejati dan ketaatan bukanlah cinta sejati dan ketaatan tanpa disertai oleh pilihan untuk tidak mencintai dan untuk memberontak. Sebuah robot dapat diprogram untuk mengasihi dan mentaati programmernya. Namun, robot tidak dapat melakukan hal lain selain sebuah program yang diupload ke dalam dirinya.

Kita tidak bisa mencap seorang anak sebagai anak yang taat, hanya karena dia lebih memilih belajar sementara ia berada diantara begitu banyak mainan dan konsol permainan, dan di sudut ruangan ada ayahnya yang begitu galak sedang memegang rotan.
Namun, jika si anak memilih belajar, sementara orang tuanya bepergian dengan hanya meninggalkan pesan: “Nak, jangan main ya, belajar.” Dan diantara pilihan main dan belajar sang anak memilih untuk belajar. Baru dapat dikatakan sang anak adalah seorang anak yang patuh dan taat kepada orang tuanya.

Sang Putera, Yesus Kristus telah membuktikan kasih dan ketaatan kepada Bapa-Nya dengan memilih taat kepada kehendak Bapa daripada kehendak-Nya sendiri. Padahal Dia memiliki kesempatan untuk menolak cawan penderitaan yang ditawarkan kepada-Nya. Namun, cinta dan ketaatan-Nya kepada Bapa sangat sempurna sehingga Dia memilih untuk taat. Ketaatan yang demikianlah yang Dia tuntut dari kita. Dapatkah kita tetap mentaati-Nya? Tetap menggemgam tangan-Nya? Tetap tinggal dalam naungan-Nya? Meskipun dunia tampak lebih menjanjikan. Pilihan kita akan menentukan kualitas cinta dan ketaatan kita kepada-Nya.

Sebagian lain mungkin akan berkata: “kami sudah berusaha taat dan tetap tinggal dalam naungan Bapa, namun mengapa penderitaan dan kesusahan masih menghampiri kami? Tidakkah genggaman dan perlindungan-Nya cukup untuk melindungi kami dari semua itu?!”

Bapa adalah ayah yang baik. Sebagaimana ayah yang baik lainnya, Bapa tidak akan membiarkan kita menjadi anak manja yang kekanan-kanankan dan tidak kapabel. Anak manja tidak akan mewarisi kerajaan-Nya, hanya seorang putera yang dewasalah yang akan mewarisinya. Bapa tahu untuk dapat menjadi seorang dewasa maka Bapa mengizinkan kesusahan dan pergumulan menghampiri hidup kita. Dia mengerti betul prinsip “No Crown Without Cross”. Bahwa sebuah medali diperoleh melalui sebuah perjuangan. 

Seorang pahlawan diciptakan di medan perang. Karakter seseorang dibentuk melalui pilihan-pilihan yang dia buat, terutama yang dia buat didalam tekanan. Lihatlah para pahlawan-Nya yang kisah hidupnya tertulis di buku sejarah-Nya yang bernama alkitab. Adakah mereka semua orang-orang lemah dan manja? Tidak! Mereka semua adalah para pria dan wanita gagah perkasa yang dibentuk melalui kesukaran hidup. Yusuf harus mengalami fase menjadi budak dan penjara sebelum dia menjadi raja muda di Mesir. Musa harus mengalami tanah Midian sebelum berhasil memimpin dua juta orang Israel keluar dari tanah Mesir, Daud dikejar-kejar Saul sebelum dia dapat menggenggam takhta Israel di tangannya. Dan masih banyak contoh lainnya.

Tengoklah doa yang berupa puisi yang ditulis oleh Jendral Douglas MacArthur, panglima perang Amerika Serikat pada Perang Dunia ke-2 di Asia pacific, bagi anaknya yang kala itu baru berusia 14 tahun:

“Doa untuk Putraku”.
Tuhanku, jadikanlah anakku
seorang yang cukup kuat mengetahui kelemahan dirinya
berani menghadapi kala ia takut
yang bangun dan tidak runduk dalam kekalahan yang tulus
serta rendah hati dan penyantun dalam kemenangan

Oh Tuhan, jadikanlah anakku
seorang yang tahu akan adanya Engkau
dan mengenal dirinya, sebagai dasar segala pengetahuan

Ya Tuhan, bimbinglah ia
bukan di jalan yang gampang dan mudah
tetapi di jalan penuh desakan, tantangan dan kesukaran
Ajarilah ia: agar ia sanggup berdiri tegak di tengah badai
dan belajar mengasihi mereka yang tidak berhasil

Ya Tuhan jadikanlah anakku
seorang yang berhati suci, bercita-cita luhur
sanggup memerintah dirinya sebelum memimpin orang lain
mengejar masa depan tanpa melupakan masa lalu

Sesudah semuanya membentuk dirinya
aku mohon ya Tuhan
Rahmatilah ia, dengan rasa humor
sehingga serius tak berlebihan
berilah kerendahan hati, kesederhanaan dan kesabaran

Ini semua ya Tuhan
dari kekuatan dan keagungan Mu itu
jika sudah demikian Tuhanku
beranilah aku berkata:

“Tak sia-sia hidup sebagai bapaknya”

Build me a son, O Lord, who will be strong enough to know when he is weak, and brave enough to face himself when he is afraid; one who will be proud and unbending in honest defeat, and humble and gentle in victory.
Build me a son whose wishbone will not be where his backbone should be; a son who will know Thee….Lead him, I pray, not in the path of ease and comfort, but under the stress and spur of difficulties and challenge. Here let him learn to stand up in the storm; here let him learn compassion for those who fail.
Build me a son whose heart will be clean, whose goal will be high; a son who will master himself before he seeks to master other men; one who will learn to laugh, yet never forget how to weep; one who will reach into the future, yet never forget the past.
And after all these things are his, add, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious, yet never take himself too seriously. Give him humility, so that he may always remember the simplicity of greatness, the open mind of true wisdom, the meekness of true strength.
Then I, his father, will dare to whisper, “I have not lived in vain.”