Selasa, 09 Juni 2009

ANGELS AND DEMONS

Part 1: Fanatisme Buta


Hari Minggu (24 Mei 2009) Saya berkesempatan untuk menonton film Angels And Demons, yang disutradarai oleh sutradara kelas Oscar, Ron Howard. Film ini bercerita tentang Robert Langdon (Tom Hanks) seorang simbolog dari Harvard University, yang diminta bantuan oleh polisi Vatican untuk mengungkapkan penculikan 3 orang Kardinal yang sedianya datang untuk meeting membicarakan siapa Paus berikutnya untuk menggantikan Paus yang meninggal. Dari sinilah cerita bergulir. Robert Langdon mengubek-ubek kota Vatican untuk menemukan ketiga Kardinal tersebut. Di dalam film ini juga diceritakan bahwa Paus terdahulu meninggal karena diracun oleh sekretarisnya, yang juga adalah anak angkatnya sendiri, Camerlengo Patrick Mckenna yang diperankan sangat bagus oleh Ewan McGregor. Nah, pada tulisan pertama ini Saya akan menyoroti hal ini.

Camerlengo diadopsi dan dibesarkan oleh Paus sebagai anaknya sendiri dan dididik untuk melindungi gereja Katolik dari ancaman baik dari luar gereja maupun dari dalam gereja. Nah, ketika Paus mensponsori sebuah penelitian tentang antimateri yang oleh para ilmuwan dipercaya sebagai asal mula kehidupan, sementara gereja mengajarkan bahwa sumber kehidupan adalah Tuhan. Semua yang ada diciptakan dari ketiadaan/kenihilan (CREATIO EX NIHILO). Mengapa Paus mau mensponsori penelitian ini? Paus beranggapan iman Kristen dan ilmu pengetahuan bisa berdiri berdampingan. Ilmu pengetahuan bukanlah musuh gereja. Ilmu pengetahuan justru dapat memperkuat iman Kristen. Arthur F. Holmes, seorang filsuf Kristen mengatakan di dalam bukunya ALL TRUTH IS GOD’S TRUTH, bahwa segala kebenaran itu, di manapun dan kapanpun diketemukan adalah merupakan kebenaran Tuhan. Karena bukankah Tuhan yang menciptakan segala sesuatu?

Camerlengo berpendapat sebaliknya. Dia menilai apa yang paus lakukan dapat menghancurkan gereja katolik. Otomatis dia juga berpendapat bahwa Paus menjadi ancaman bagi gereja Katolik. Oleh karena itu harus dilenyapkan. Maka Camerlengo meracuni Paus.
Demikianlah secara singkat dan sederhana cerita film ini. Saya jadi berpikir betapa kefanatikan tanpa rasio bisa sangat berbahaya. Kefanatikan buta membuat seseorang berubah dari pemeluk agama yang baik menjadi seorang pembunuh kejam. Yang melakukan kekejamannya atas nama Tuhan???!!!! Kefanatikan buta tanpa rasio menghasilkan perang salib, inkuisisi (pembantaian yang dilakukan gereja atas nama Tuhan terhadap sekelompok atau seseorang yang dituduh murtad atau tukang sihir), bom bunuh diri, ethnic cleansing dan masih banyak lagi kekejaman lainnya.

Kefanatikan tidaklah ditujukan kepada Tuhan. Karena bagaimana mungkin Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, yang kesabaran-Nya lebih panjang daripada amarah-Nya mengijinkan seseorang untuk mencabut nyawa orang lain atas alasan apapun? Bagaimana Tuhan yang semasa hidup di dunia ini dikenal sebagai sahabat orang berdosa, pelacur dan pemungut cukai, tega memerintahkan sesama manusia (yang juga orang berdosa) untuk menghabisi sesama manusia. Bukankah tulah dan hukuman dari langit berhenti ketika Tuhan Yesus lahir ke dunia? Semua amarah kekudusan terhadap dosa sudah ditimpakan kepada Kristus di Golgotha? Semua tuntutan agama atas penghukuman bagi orang berdosa sudah dibayar lunas oleh Tuhan Yesus?

Tuhan dari kefanatikan buta adalah agama dan golongan. Seseorang menjadi musuh ketika dia tidak sependapat dengan golongan atau agama kita. Kita mencapnya murtad, ketika seseorang pindah golongan atau agama. Seorang fanatik buta merasa dirinya adalah pembela sekaligus algojo Tuhan dengan mandat penuh dari langit untuk menghabisi seseorang yang berbeda dengan golongannya. Seorang fanatik buta adalah seseorang yang selalu berada di dalam kotak. Dia tidak pernah melihat dunia dari sudut pandang lain. Baginya kelompoknyalah yang paling benar, gerejanyalah yang paling benar, tafsiran kelompoknyalah yang paling benar. Bahkan dalam beberapa kelompok, adalah tabu bagi para pengikut untuk membaca buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok lain.

Dari sudut pandang ini maka tidaklah mengherankan jika Camerlengo membunuh Paus yang sudah membesarkannya seperti anaknya sendiri. Yang menarik dari peran Camerlengo ini adalah bagaimana Ewan McGregor mampu memerankan seorang pembunuh dengan wajah dan sikap yang tetap naif, polos dan baik hati. Camerlengo bukanlah seorang jahat seperti Ted Bundy (pembunuh berantai dari Amerika) atau peran Hannibal Lecter (Anthony Hopkins) dalam film “The Silence Of The Lambs” dan beberapa sequelnya. Camerlengo adalah seorang pembela gereja. Cintanya kepada gereja melebihi cintanya kepada ayah adopsinya (Paus) bahkan daripada ajaran Kristus sendiri yang melarang membunuh. Camerlengo membela gereja yang dia cintai dengan segenap hatinya bahkan dia rela mengorbankan nyawanya bagi gereja. Dan dia beranggapan bahwa dia melakukannya bagi Tuhan. Namun di sinilah problemnya. Fanatisme buta mengalahkan rasio dan akal sehat. Padahal beragama haruslah dengan akal sehat. Iman dan rasio tidak bisa dipisahkan. Rasio bukanlah musuh iman demikian pula sebaliknya, keduanya harus berjalan berdampingan.

Tanpa sadar kita sering berperilaku seperti Camerlengo dengan takaran yang lebih ringan. Pernah suatu kali seorang pekerja bahkan salah seorang pemimpin dari satu gereja, di satu kota, bercerita kepada Saya. Bagaimana dia dicap pengkhianat, dijauhi dan ‘dimusuhi’ oleh rekan-rekannya sesama pekerja dan pemimpin gereja, bahkan oleh anak-anak rohaninya sendiri yang nota bene bertobat karena pelayanannya, semua hanya karena dia pindah gereja???!!! Sahabat Saya ini karena sesuatu dan lain hal memutuskan untuk keluar dari gereja dan melayani di tempat lain, oleh karena itu dia dijauhi bahkan dimusuhi. Bayangkan, sahabat Saya ini dikasihi dan dihormati karena dia satu gereja dan satu pelayanan, tetapi ketika dia pindah gereja maka kasih dan hormat berhenti berganti dengan kebencian. Bukankah mirip dengan Camerlengo? Saya bayangkan bagaimana seandainya sahabat Saya ini pindah agama? Wong, pindah gereja saja sudah dibegitukan, apalagi pindah agama dan pastinya pindah juru selamat?!

Berapa banyak dari kita yang memusuhi, menjauhi dan meng eks-komunikasikan (ex comunio) teman kita hanya karena dia pindah beribadah di gereja lain atau sinode lain? Suatu hari ada seorang bapak bertanya kepada Saya, apa yang harus dia lakukan terhadap adiknya yang mau menikah dan pindah agama. Saya katakan: “Tetap kasihi adikmu!” “Jangan kasihi adikmu hanya karena dia satu agama, justru pada saat-saat seperti inilah, adikmu lebih memerlukan kasih Kristus yang terpancar dari dalam dirimu melalui bagaimana kamu memperlakukan dia.” Jika Kristus hanya mengasihi orang-orang Kristen saja maka kita semua tidak ada yang selamat. Karena semua kita tidak ada yang beragama Kristen sebelumnya. Baru setelah kita percaya bahwa Yesus itu Tuhan, kita disebut beragama Kristen. Kalau Kristus saja mengasihi orang berdosa dan mencari domba yang hilang, apalagi kita. Perhatikan terminologi yang digunakan adalah domba (BUKAN kambing). Nah, adik bapak tadi adalah domba yang hilang. Kristus meninggalkan yang 99 ekor lainnya untuk mencari 1 domba yang hilang. Mari kita berperilaku seperti Kristus.

Tidak ada komentar: