Selasa, 18 Oktober 2011

BELAJAR MEMBERI

Pada suatu Sabtu di bulan Juli saya mengkoordinir sebuah acara sosial. Kami mengundang siswa-siswi dari sebuah TK untuk anak-anak kurang mampu dari sebuah tempat di pinggiran Jakarta, ke sebuah restoran waralaba yang terkenal karena ayam gorengnya yang renyah dan enak. Pagi itu sekitar pukul sembilan pagi dengan sebuah bis yang sengaja kami sewa mereka tiba di pusat perbelanjaan besar di Jakarta Utara di mana lokasi restauran berada. Dengan senyum menghiasi wajah mereka dan langkah ringan namun bersemangat mereka masuk dan langsung menuju lokasi restoran yang memang berada di bagian depan pusat perbelanjaan tersebut. Saya menduga-duga mungkin ini pertama kalinya mereka masuk ke pusat perbelanjaan semegah ini dan masuk ke restoran lalu makan makanan yang untuk sebagian besar kita adalah makanan biasa. Saya dan beberapa teman yang menjadi sukarelawan menyambut mereka dan menggandeng mereka satu persatu untuk segera naik ke lantai dua. Acara segera akan dimulai. Tamu-tamu agung sudah datang.

Acara dipimpin oleh MC dari retauran tersebut. Bak acara ulang tahun orang gedongan permainan demi permainan diadakan. Sang MC sangat ahli dan terlihat sudah sangat terbiasa memandu acara yang dihadiri oleh anak-anak. Terbukti anak-anak dan kami orang dewasa sangat tertarik mengikutinya. Kami sama-sama tertawa terbahak-bahak ketika ada yang lucu dari permainan itu, atau ketika sang MC mengajukan pertanyaan berupa lagu yang menjebak. Terlihat wajah-wajah berbahagia dari anak-anak tersebut. Lagi-lagi saya berpikir jangan-jangan ini acara meriah pertama yang mereka hadiri. Mungkin saja.

Selain acara permainan, kami juga memberikan sepatu, tas sekolah lengkap dengan buku tulis dan alat-alat tulis. Lengkaplah sudah kegembiraan mereka, kami sudah memberikan sukacita itu kepada mereka, itu yang saya pikirkan. Siapa nyana hari itu saya belajar tentang ketulusan memberi dari anak-anak kurang mampu ini.

Ketika giliran makan, para sukarelawan mengantarkan mereka satu-persatu untuk mecuci tangan, sebuah pendidikan kebersihan diri yang penting. Lalu mengantarkan mereka ke meja di mana sebagian dari kami sudah menyiapkan makanan berupa nasi, ayam goreng dan soft drink. Sebelum makan tidak lupa berdoa, bersyukur kepada yang Maha Kuasa atas berkat-Nya. Setelah berdoa satu persatu mereka membuka kotak makanan di depan mereka. Kakak-kakak sukarelawan membantu mereka membuka kotaknya, sebagian dengan telaten membantu menguliti ayam goreng menjadi potongan-potongan kecil agar mudah masuk ke mulut-mulut mungil mereka dan mengunyahnya.

Istri saya memperhatikan seorang anak yang tidak membuka kotak makanannya, lalu memberitahu saya.

Dengan lembut saya bertanya: “Adik, kenapa tidak di makan? Sini Kakak bantu membuka kotaknya.”

Dengan gelengan perlahan si adik kecil menjawab: “Saya tidak mau makan, ini buat ibu di rumah.”

Saya dan istri menjadi tidak bisa berkata-kata alias speechless. Si kecil yang saya yakin seyakin-yakinnya tidak pernah makan makanan seperti itu, masih ingat kepada ibunya di rumah. Dengan tulus dia tidak memakan dan memilih untuk mempersembahkannya kepada sang bunda. Dia memilih diam dan mengilar melihat teman-temannya makan dengan lahap.

Saya jadi teringat kepada cerita Tuhan Yesus tentang pemberian seorang janda miskin yang tercatat di dalam injil Markus 12:41-44. Komentar Tuhan Yesus tentang pemberian janda tersebut yang secera jumlah sangat sedikit dibandingkan dengan pemberian orang-orang kaya adalah:

“Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Lukas 12:43-44

Janda itu memberi dari kekurangannya, dengan tulus dia memberi persembahan buat Tuhan. Tuhan melihat hati dan bukan jumlah persembahan. Manusia melihat jumlah dan bukan ketulusan hati si pemberi.

Kembali kepada si adik kecil. Dia memberi dengan ketulusan hatinya. Dia tahan lapar dan air liurnya demi sang ibu. Lain kali belum tentu dia dapat makan makanan seperti itu, minimal tidak dalam waktu dekat, namun dia rela memberi dari kekurangannya.

Ketika acara selesai ternyata banyak dari siswa-siswa TK tersebut yang tidak menghabiskan ayam goreng tersebut, dengan alasan akan dilanjutkan makannya buat sore, sayang jika dihabiskan cepat-cepat dan banyak dari mereka menyisakannya agar adik, kakak atau orang tuanya dapat mencicipi ayam goreng khas negeri Paman Sam tersebut.

Tanpa mereka sadari sesunggunya mereka sedang mengajari saya tentang makna memberi. Saya belajar dari ketulusan mereka. Saya belajar.

Tidak ada komentar: