Rabu, 03 Desember 2008

WAKTU YANG BERHARGA

Kebersamaan

Rabu, 26 November 2008
Tuhan memberikan hadiah berupa “waktu luang” buat Saya. Tidak seperti biasanya rabu malam itu Saya free. Tidak ada janji dan tidak ada pelayanan. Biasanya Saya berangkat pagi-pagi, pulang kalau sudah jauh malan. Jadi waktu luang seperti itu adalah sesuatu yang jarang Saya dapatkan, dan karenanya menjadi sesuatu yang mahal.
Malam itu, sekitar pukul 7, tidak ada yang lebih nikmat buat Saya selain setelah mandi, duduk berselonjor kaki di ranjang dengan punggung menyandar tembok, dan tangan kanan memegang remote control TV. Nikmat sekali rasanya, melemaskan otot akibat lelah badan dan pikiran setelah seharian bekerja. Rasanya tidak ada apapun yang mampu menggerakkan Saya dari posisi seperti itu.
Tak jauh dari Saya, sekitar 2 meter kedua anak Saya, Azriel (7) dan Rachel (3) sedang bermain rumah-rumahan memakai kasur busa sebagai temboknya. Mereka berdua “bersembunyi” di “rumah” mereka dan diam-diam mengintip Saya yang sedang asyik merelaksasi tubuh dan pikiran. Ketika Saya melirik, mereka berteriak dan kembali membenamkan kepala mereka ke balik tembok kasur busa. Hmmm…Mereka mengajak Saya bercanda…..
Tapi…Aduh…hari itu Saya lelah sekali dan Saya sedang berada pada “PW” (Posisi Wuenak…), malas rasanya menemani mereka bercanda. Tapi pikir-pikir kapan lagi bercanda dengan mereka, buah hati Saya. Waktu kebersamaan kami sudah habis tersita oleh kesibukan pelayanan dan pekerjaan Saya. Mereka juga punya hak atas waktu Saya.

Sejenak di pikiran Saya terlintas cerita tentang anak yang mencuri uang di sekolah. Dengan rasa malu dan marah ayahnya memukuli si anak. Dengan terbata-bata dan berlinangan air mata si anak menjelaskan alasan kenapa dia mencuri uang. Dia membutuhkan uang sebesar $500 untuk membeli waktu ayahnya untuk menonton konsernya. Karena selama ini ayahnya tidak punya waktu buat anak-anaknya. Sang ayah pernah sesumbar di meja makan bahwa orang membayar waktunya sebesar $500 per jam.

Nah, akhirnya dengan kesadaran seperti itu Saya segera menggerakkan tubuh Saya untuk diam-diam menghampiri tembok “rumah” mereka dan ketika anak-anak Saya kembali mengintip, mereka terkejut, karena ternyata ayah mereka tidak berada di ranjang lagi melainkan dekat dengan mereka. Ketika wajah mereka berada dekat dengan wajah Saya, mereka berteriak dan tertawa keras sekali. Mereka bahagia sekali…..Saya dapat melihat dari raut wajah mereka….ah…suatu pemandangan dan pengalaman mahal, something that money cannot buy!

Minggu, 30 November 2008

Sepasang suami istri datang dan konseling dengan Saya. Mereka menceritakan bahwa anak-anak mereka lebih dekat ke suster daripada ke mereka. Mereka punya bukti-bukti kuat kalau suster ini memakai guna-guna yang membuat anak-anak mereka lengket dengan sang suster. Apakah benar demikian? Well, mungkin saja demikian, kenapa tidak! Di Indonesia hal-hal seperti guna-guna, pelet, santet dll adalah hal biasa.
Tapi dalam kasus ini Saya menekankan kepada mereka arti penting mezbah keluarga. Peranan ayah sebagai nabi, imam dan raja di dalam rumah tangga. Mereka harus berdoa buat anak-anak mereka pagi dan malam hari. Jadi kalaupun ada “serangan” seisi rumah mereka aman tentram dalam lindungan Tuhan.
Di samping itu, ketika sudah tutup toko dan berada di rumah, anak-anak adalah kewajiban orang tua, bukan lagi kewajiban pengasuhnya. Anak-anak harus tidur dengan orang tuanya bukan dengan pengasuhnya. Jika tidak, maka tidak heran kalau sang anak akan lebih dekat dengan pengasuhnya daripada sang ibu yang melahirkan anak-anak tersebut.
Saya jadi ingat dengan seorang kawan yang terpaksa harus memecat pembantunya yang sudah bekerja tahunan dengan dirinya, hanya gara-gara istri kawan Saya ini cemburu dengan si pembantu. Anak-anaknya lebih dekat dengan si pembantu daripada dengan istrinya. Bahkan anak-anaknya lebih senang digendong oleh si pembantu daripada oleh mama mereka. Anak-anak akan ribut menanyakan si pembantu yang pulang kampong, daripada mama mereka yang pergi urusan kantor.
Setelah Saya tanya-tanya ternyata kasusnya sama saja. Setelah pulang kerja istri teman Saya ini jarang sekali bermain dengan anaknya. Segala sesuatu diserahkan kepada pembantu. Bahkan tidurpun dengan pembantu. Maka tidak heran anak-anak ini menjadikan si pembantu ibu mereka dan si mama hanya sebagai ibu simbol belaka.
Kejadian-kejadian tersebut adalah masalah setiap keluarga muda yang suami istri bekerja. Setelah lelah bekerja, di rumah, inginnya ya, seperti Saya itu, tidur-tiduran santai sambil nonton TV. Urusan lain biarlah menjadi urusan pembantu. Ini adalah bagian realita kehidupan. Namun perlu diingat, bahwa anak-anak perlu kita. Perlu waktu-waktu terbaik kita, bukan waktu-waktu sisa yang penuh dengan sampah stress setelah seharian bekerja.
Untuk hal ini Saya memuji istri Saya. Setelah lelah bekerja membantu suami (yang pendeta) menambahi nafkah keluarga, di rumah dia adalah ibu teladan bagi anak-anaknya. Saya lihat istri Saya bermain bersama anak-anaknya, membantu putra kami Azriel belajar. Menidurkan anak-anak Kami. Lalu, istri Saya mempersiapkan peralatan sekolah untuk besok pagi buat Azriel. Komitmennya terhadap keluarga luar biasa. Saya kagum kepadanya dan semakin mencintainya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

hai,joyfull lagi nih.walau ada juga ternyata ibu yang kurang care sama anak anak nya,tapi menurut gue kebanyakan bapak2 tuuuhhh yang kurang care sama anak nya,alasan nya sih cuape pulang kerja,emang istri gak cape apa??hehehe.maka nya di firman ada di tulis hai bapak2 jgn sakiti hati anak mu.tolong deh bapak2 berilah waktu mu,juga dirimu,perhatianmu sepenuh hati untuk anak mu.untuk cici tabitha restya sharie,salam kenal.saluuuut.

Leo Imannuel mengatakan...

To Joyfull

Hi...juga
Saya setuju dengan Kamu. Pria adalah Nabi, Imam dan Raja di rumahnya. Oleh karena itu kaum pria berfungsilah! Your family needs You. Biar nubuatan Tuhan di Maleakhi, ttg pemulihan hati bapa dan anak digenapi.

GBU.