Selasa, 25 November 2008

GEREJA ADALAH SEBUAH KELUARGA

GEREJA ADALAH KELUARGA

Sesuatu Telah Hilang
Gereja-gereja perkotaan biasanya “berperang” untuk menarik jemaat datang berkunjung dengan selebaran dan iklan-iklan di berbagai media massa baik koran, majalah, radio maupun televisi. Isi advertising-nya kurang lebih sama, pendeta siapa yang berkhotbah (biasanya pendeta terkenal), siapa worship leader-nya, siapa artis rohani yang mengisi acaranya, di mana dan kapan kebaktian tersebut akan diadakan. Tidak lupa dicantumkan siapa nama gembala sidangnya.
Gereja-gereja tersebut pada umumnya dibangun dengan manajemen persekutuan doa atau gereja entertainment. Di mana di dalam ibadahnya sangat ditekankan sisi hiburannya. Oleh karenanya peranan pengkhotbah sangat penting. Jikalau bisa pengkhotbah yang khotbahnya lucu dan memiliki kesaksian yang agak kontroversial seperti pernah diangkat ke surga, bangkit dari kematian atau tokoh agama lain yang pindah masuk agama Kristen. Disampingi itu musisi dan tim worship, yang main musiknya setara Erwin Gutawa Orchestra dan kemampuan vokal grupnya minimal sama dengan AB Three. Namun gereja tipikal seperti ini miskin pengembalaan. Dalam arti kata tidak semua orang dibesuk atau dikenali oleh pemimpin. Jemaat datang ibadah ke tempat ‘asing’, berjumpa dengan sesama jemaat yang juga ‘asing’ karena tidak saling mengenal, dilayani oleh pengerja dan hamba Tuhan yang juga ‘asing’ baginya. Orang datang ke gereja hanya untuk memuaskan hati dan telinganya, sehingga turn over jemaat sangat tinggi. Karena jemaat akan pindah ibadah ke gereja lain yang mampu menyajikan “menu” ibadah yang lebih dahsyat lagi.
Turn over jemaat yang tinggi ini akan mempengaruhi cara hamba Tuhan dan pengerja setempat dalam melayani jemaat. Jangan harap jemaat akan dilayani dengan sentuhan pribadi (personal touch), karena toh pengerja dan hamba Tuhan setempat tidak saling mengenal dengan jemaat yang minggu ini ada, minggu depan belum tentu datang lagi. Yang kasihan adalah sebagian jemaat yang ‘setia’ setiap minggu hadir, mereka tidak tersentuh sama sekali, karena pengerja dan hamba Tuhan setempat berasumsi, kalau merekapun adalah jemaat yang datang dan pergi.
Atau sebuah gereja yang jemaatnya mencapai ribuan, wah, jangan harap mendapat perhatian pengerja dan hamba Tuhan setempat. Susah sekali rasanya jikalau harus memperhatikan dan mengenal jemaat satu persatu. Oleh karena itu banyak orang yang kepahitan dengan gereja dari sisi pelayanannya. Simaklah kisah keluhan dari salah seorang jemaat. Jemaat ini sebenarnya bukan orang sembarangan dari sisi perekonomian, dalam arti kata dia orang berada, bahkan boleh dikata sangat kaya. Namun, setelah dua tahun bergereja di salah satu mega church, di salah satu kota, beliau memutuskan pindah gereja. Karena dari pertama kali berkunjung, sampai dua tahun bergereja tidak ada satu orang pengerja atau hamba Tuhan setempat yang mengenalnya, mengajak ngobrol atau hanya sekedar telepon atau sms. Padahal, beliau sebetulnya bisa menjadi berkat bagi gereja tersebut. Di gereja barunya, dia berkata, baru sesampainya di rumah setelah ibadah, ada kurang lebih 10 orang yang meng-sms, mengucapkan terima kasih atas kehadirannya dan mengundang untuk hadir di komsel dan ibadah minggu berikutnya.
Apa sebenarnya yang hilang dari banyak gereja-gereja perkotaan. Jawabannya adalah gereja adalah keluarga. Maksudnya gereja yang dibangun di dalam semangat kekeluargaan. Itulah yang hilang.
Di dalam gereja tidak boleh ada orang asing dan yang merasa terasing. Ketika orang datang ke gereja, seharusnya mereka tidak boleh merasa datang ke tempat ‘asing’, berjumpa dengan sesama jemaat yang juga ‘asing’ baginya dan dilayani oleh pengerja yang juga ‘asing’. Mereka harus merasa datang ke rumah sendiri, ke keluarga sendiri. Berjumpa dengan sesama jemaat dan dilayani oleh para pelayan yang mereka kenal, karena merasa satu keluarga. Setiap orang memiliki “sense of belonging” terhadap gerejanya, orang-orang dan pelayanan yang ada di dalamnya.

Gereja Yang Dirancang Oleh Tuhan Yesus
Tuhan Yesus merancang gereja sebagai sebuah keluarga. Dia banyak memakai terminologi keluarga di dalam rancang bangunnya terhadap gereja. Misalnya ketika Dia mengajar murid-murid-Nya berdoa, kata pertama yang Dia gunakan di dalam doa yang kemudian dikenal sebagai Doa Bapa Kami adalah kata: “BAPA”. Atau pada saat perjamuan terakhir (The Last Supper), pada perjamuan paskah ini sebenarnya yang duduk makan semeja adalah keluarga. Jadi, di sini kita melihat bahwa Tuhan Yesus memperlakukan murid-murid-Nya sebagai keluarga-Nya sendiri. Juga di dalam narasi Injil Yohanes 1:12, dikatakan: “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” Jika kita adalah anak-anak Allah, berarti Allah adalah Bapa kita dan sesama anak Tuhan adalah saudara sendiri. Jadi kita dengan Bapa adalah sebuah keluarga.
Di dalam surat-surat para rasul kepada jemaat-jemaat terlihat bahwa merekapun memperlakukan jemaat seperti keluarga sendiri, seperti: I Kor 4:14-15; I Tes 2:11; I Tim 1:2, 5:1-2; I Yoh 2:1, 12, 14. Dari begitu banyaknya ayat-ayat tersebut, kita yakin bahwa gereja rasuli adalah gereja keluarga, dengan semangat “fathering” dan “sonship” yang kuat.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

bro, bukan gerea tapi gereja betul gak ?
gue setuju dengan gereja adalah keluarga... karena gue udah ngerasain itu... ayo gereja bangkit kuatkan iman jemaat melalui kekeluargaan ini didalam gereja...

Leo Imannuel mengatakan...

To Anonim
Kesalahan ketik sudah diperbaiki Bro.
Thx untuk ketelitiannya.